Prof. dr. R. Koestedjo (92), Direktur Rumah Sakit Paling Tua


Rabu, 06 Agustus 2008 , 08:30:00
BOLEH jadi Prof. dr. R Koestedjo saat ini termasuk manusia langka yang perlu mendapat apresiasi. Disebut langka karena di usianya yang ke 92, ia masih aktif memimpin sebuah lembaga yang berhubungan dengan publik. Ia adalah Direktur RS Halmahera Bandung dan sudah 10 tahun memimpin rumah sakit itu. Jika berbicara masalah rekor, sepertinya ia pun layak masuk dalam catatan Musium Rekor Indonesia (MURI), selain masih aktif dan produktif, pria kelahiran Purwokerto ini sudah mengabdikan diri sebagai dokter selama lebih dari 60 tahun atau 8 windu mengabdi dalam dunia kesehatan. Di usianya yang ke 92 tanggal 5 Agustus 2008 yang jatuh pada hari Selasa (58) kemarin, ulang tahunnya dirayakan oleh sahabat, murid dan karyawan RS Halmahera. Untuk ukuran Prof. Koes – panggilan akrabnya, yang menjadi guru, bapak dan sahabat sejumlah profesor dan doktor, perayaan ultahnya bisa dibilang sangat sederhana. Perayaan yang digagas para muridnya bertepatan dengan ulang tahun RS Halmahera ke 16 itu bertempat di lantai 4 RS Halmahera yang tidak begitu luas, kurang lebih sekitar 5 x 10 meter. Bahkan tempat duduk utama hanya berjarak satu-dua meteran membelakangi lift. Namun demikian perayaan yang ditandai pemotongan nasi tumpeng yang hanya satu ini berjalan hidmat. Ketika penulis memperkenalkan diri dari Pikiran Rakyat, Prof. Koes – panggilan akrabnya, langsung saja ia menyebutkan punya kenalan di Pikiran Rakyat. “Wah dari PR?. Saya kenal Pak Alamsyah ( alhamruh Sakti Alamsyah, red) yang di Jalan Asia Afrika ..!” katanya bersemangat. Ia nampak masih segar. Demikian pula cara berbicara masih benar-benar cekas. Ditanya rahasia menjaga kebugaran dan kesehatan, Prof. Koes menjawab pendek. "Dengan olah raga," katanya. Ternyata ia bukan hanya menguasai sejumlah cabang oleh raga, mulai tenis, tenis meja, hokey, sampai olah raga naik kuda. ”Oleh raga tidak perlu yang berat-berat, yang penting teratur dan disesuaikan dengan kemampuan tubuh kita,” katanya. Mengenai masalah makanan, ia berceritera bahwa dirinya dididik oleh orang Belanda yang menerapkan disiplin ketat, termasuk dalam hal makanan. ”Kalau kata orang Belanda, jangan terlalu rakus, segala dimakan sampai kenyang, apalagi berlebihan. Secukupnyaa saja,” katanya. Masalah makan ini tampaknya Prof. Koes mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. ”Kan Nabi Mumammad juga berhenti makan sebelum kenyang,” kata ayah dari 3 putra ini. Dari segi kesehatan, jika kita berhenti makan sebelum kenyang artinya mengurangi kerja organ tubuh yang maksimal. Sebab makan sampai berlebihan atau melebihi batas kenyang bisa menyebabkan gangguan. SEPERTI halnya kebanyakan pemuda jaman penjajahan, Prof. Koes yang lulus sebagai dokter dari Ika Daigaku di awal tahun 1944 yang ditempatkan di RSU Pusat Jakarta, sempat memasuki berbagai lembaga perjuangan termasuk PETA ketika di Bali sampai kemerdekaan setelah ia menyelesaikan studi kedokterannya. Kemudian masuk TNI sampai tahun 1950 dengan pangkat Letkol. Sebelumnya ia sempat ditempatkan di Resimen Cilacap pada Divisi Diponegoro dan mendapat tugas bantu jaga di frot timur yang meliputi sampai Rancaekek. Keluar dari TNI, menurut Prof. Koes, setelah mendapat izin pimpinan. Ia keluar karena ada keinginan bagaimana bisa membagi keahliannya pada dokter lain mengingat saat itu ahli bedah di Indonesia hanya 10 orang. Sejak itulah ia terus menimba dan menekuni ilmu bedah di Semarang dan dilanjutkan di Universitas Indonesia. Sampai pada akhir tahun 1956 ia ditugaskan di Bandung. ”Di Rancabadak... sekarang dikenal RS Hasan Sadikin,” kata Prof Koes yang turut membidani sejumlah organisasi seperti YPAC, Yayasan Celah Bibir, Yayasan Kanker Bandung dan sejumlah badan atau organisasi termasuk Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) yang menjadi andalan kepakarannya. Dengan dibukanya Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1957, makin terbuka lebar kesempatan untuk mendidik mahasiswa menjadi dokter umum, dan baru pada tahun 1964 dimulai calon pendidikan calom akhli bedah yang ditangani IKABI. ”Dulu pendidikan akhli bedah bukan tugas pemerintah, jadi IKABI yang menangani. Cita-cita saya terkabul bisa mendidik dan menjadikan puluhan ahli bedah,” katanya. Satu pesan yang disampaikannya untuk para dokter muda, Prof. Koes yang berpenampilan amat sederhana ini berharap agar generasi penerusnya lebih banyak berkecimpung dalam masalah sosial kemanusiaan untuk menolong orang. ”Jangan mata duitan,” katanya. Ia juga berceritera dengan posisi sebagai guru yang telah mendidik puluhan mungkin ratusan dokter akhli, dengan menjadi dokter selama 8 windu akan mengira ia banyak harta. ”Rumah yang saya tempati sampai sekarang di Dago adalah pemberian Belanda, dengan menebus VB,” katanya. (Ua/prlm) ***