Tampilkan postingan dengan label cerita dewasa.uh.oh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita dewasa.uh.oh. Tampilkan semua postingan

Ibu guru yang nakal

Rina adalah seorang guru sejarah di smu. Umurnya 30 tahun, cerai tanpa anak. Kata orang dia mirip Demi Moore di film Striptease. Tinggi 170, 50 kg, dan 36B. Semua murid-muridnya, terutama yang laki-laki pengin banget melihat tubuh polosnya.

Suatu hari Rina terpaksa harus memanggil salah satu muridnya ke rumahnya, untuk ulangan susulan. Si Anto harus mengulang karena ia kedapatan menyontek di kelas. Anto juga terkenal karena kekekaran tubuhnya, maklum dia sudah sejak SD bergulat dengan olah raga beladiri, karenanya ia harus menjaga kebugaran tubuhnya.

Bagi Rina, kedatangan Anto ke rumahnya juga merupakan suatu kebetulan. Ia juga diam-diam naksir dengan anak itu. Karenanya ia bermaksud memberi anak itu 'pelajaran' tambahan di Minggu siang ini.
"Sudah selesai Anto?", Rina masuk kembali ke ruang tamu setelah meninggalkan Anto selama satu jam untuk mengerjakan soal-soal yang diberikannya.
"Hampir bu"
"Kalau sudah nanti masuk ke ruang tengah ya saya tinggal ke belakang.."
"Iya.."
"Bu Rina, Saya sudah selesai", Anto masuk ke ruang tengah sambil membawapekerjaannya.
"Ibu dimana?"
"Ada di kamar.., Anto sebentar ya", Rina berusaha membetulkan t-shirtnya. Ia sengaja mencopot BH-nya untuk merangsang muridnya itu. Di balik kaus longgarnya itu bentuk payudaranya terlihat jelas, terlebih lagi puting susunya yang menyembul.

Begitu ia keluar, mata Anto nyaris copot karena melotot, melihat tubuh gurunya. Rina membiarkan rambut panjangnya tergerai bebas, tidak seperti biasanya saat ia tampil di muka murid-muridnya.
"Kenapa ayo duduk dulu, Ibu periksa.."
Muka Anto merah karena malu, karena Rina tersenyum saat pandangannya terarah ke buah dadanya.
"Bagus bagus..., Kamu bisa gitu kok pakai menyontek segala..?"
"Maaf Bu, hari itu saya lupa untuk belajar.."
"oo..., begitu to?"
"Anto kamu mau menolong saya?", Rina merapatkan duduknya di karpet ke tubuh muridnya.
"Apa Ibu?", tubuh Anto bergetar ketika tangan gurunya itu merangkul dirinya, sementara tangan Rina yang satu mengusap-uasap daerah 'vital' nya.
"Tolong Ibu ya..., dan janji jangan bocorkan pada siapa--siapa".
"Tapi tapi..., Saya".
"Kenapa?, oo..., kamu masih perawan ya?".
Muka Anto langsung saja merah mendengar perkataan Rina"Iya"
"Nggak apa-apa", Ibu bimbing ya.

Rina kemudian duduk di pangkuan Anto. Bibir keduanya kemudian saling berpagutan, Rina yang agresif karena haus akan kehangatan dan Anto yang menurut saja ketika tubuh hangat gurunya menekan ke dadanya. Ia bisa merasakan puting susu Rina yang mengeras. Lidah Rina menjelajahi mulut Anto, mencari lidahnya untuk kemudian saling berpagutan bagai ular.

Setelah puas, Rina kemudian berdiri di depan muridnya yang masih melongo. Satu demi satu pakaiannya berjatuhan ke lantai. Tubuhnya yang polos seakan akan menantang untuk diberi kehangatan oleh perjaka yang juga muridnya ini.
"Lepaskan pakaiannmu Anto", Rina berkata sambil merebahkan dirinya di karpet. Rambut panjangnya tergerai bagai sutera ditindihi tubuhnya.
"Ahh cepat Anto", Rina mendesah tidak sabar.

Anto kemudian berlutut di samping gurunya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pengetahuannya tentang seks hanya di dapatnya dari buku dan video saja.
"Anto..., letakkan tanganmu di dada Ibu",
Dengan gemetar Anto meletakkan tangannya di dada Rina yang turun naik. Tangannya kemudian dibimbing untuk meremas-remas payudara Rina yang montok itu.
"Oohh..., enakk..., begitu caranya..., remas pelan-pelan, rasakan putingnya menegang.." Dengan semangat Anto melakukan apa yang gurunya katakan.
"Ibu..., Boleh saya hisap susu Ibu?".
Rina tersenyum mendengar pertanyaan muridnya, yang berkata sambil menunduk, "Boleh..., lakukan apa yang kamu suka".

Tubuh Rina menegang ketika merasakan jilatan dan hisapan mulut pemuda itu di susunya. Perasaan yang ia pernah rasakan 3 tahun lalu saat ia masih bersama suaminya.
"Oohh..., jilat terus sayang..., ohh", Tangan Rina mendekap erat kepala Anto ke payudaranya.

Anto semakin buas menjilati puting susu gurunya tersebut, mulutnya tanpa ia sadari menimbulkan bunyi yang nyaring. Hisapan Anto makin keras, bahkan tanpa ia sadari ia gigit-gigit ringan puting gurunya tersebut.
"mm..., nakal kamu", Rina tersenyum merasakan tingkah muridnya itu.
"Sekarang coba kamu lihat daerah bawah pusar Ibu".
Anto menurut saja. Duduk diantara kaki Rina yang membuka lebar. Rina kemudian menyandarkan punggungya pada dinding di belakangnya.
"Coba kamu rasakan", ia membimbing telunjuk Anto memasuki vaginanya.
"Hangat Bu.."
Bisa kamu rasakan ada semacam pentil...?"
"Iya.."
"Itu yang dinamakan kelentit, itu adalah titik peka cewek juga. Coba kamu gosok-gosok"Pelan-pelan jari Anto mengusap-usap clitoris yang mulai menyembul itu.
"Terus..., oohh..., ya..., gosok..., gosok", Rina mengerinjal-gerinjal keenakan ketika clitorisnya digosok-gosok oleh Anto.
"Kalo diginiin nikmat ya Bu?", Anto tersenyum sambil terus menggosok-gosok jarinya.
"Oohh..., Antoo..., mm", tubuh Rini telah basah oleh peluh, pikirannya serasa di awang-awang, sementara bibirnya merintih-rintih keenakan.

Tangan Anto semakin berani mempermainkan clitoris gurunya yang makin bergelora dirangsang birahi. Nafasnya yang semakin memburu pertanda pertahanan gurunya akan segera jebol.
"Ooaahh..., Anntoo", Tangan Rina mencengkeram pundak muridnya, sementara tubuhnya menegang dan otot-otot kewanitaannya menegang. Matanya terpejam sesaat, menikmati kenikmatan yang telah lama tidak dirasakannya.
"Hmm..., kamu lihai Anto..., Sekarang..., coba kamu berbaring".
Anto menurut saja. Penisnya segera menegang ketika merasakan tangan lembut gurunya.
"Wah..., wahh.., besar sekali", tangan Rina segera mengusap-usap penis yang telah mengeras tersebut.

Segera saja benda panjang dan berdenyut-denyut itu masuk ke mulut Rina. Ia segera menjilati penis muridnya itu dengan penuh semangat. Kepala penis muridnya itu dihisapnya keras-keras, sehingga Anto merintih keenakan.
"Ahh..., enakk...,enakk", Anto tanpa sadar menyodok-nyodokkan pinggulnya untuk semakin menekan penisnya makin ke dalam kuluman Rina. Gerakannya makin cepat seiring semakin kerasnya hisapan Rina.
"oohh Ibu..., Ibbuu"
Muncratlah cairan mani Anto di dalam mulut Rina, yang segera menjilati cairan itu hingga tuntas.
"Hmm..., manis rasanya Anto", Rina masih tetap menjilati penis muridnya yang masih tegak.
"Sebentar ya aku mau minum dulu".

Ketika Rina sedang membelakangi muridnya sambil menenggak es teh dari kulkas. Tiba-tiba ia merasakan seseorang mendekapnya dari belakang.
"Anto..., biar Ibu minum dulu".
"Tidak..., nikmati saja ini", Anto yang masih tegang berat mendorong Rina ke kulkas.
Gelas yang dipegang rina jatuh, untungnya tidak pecah. Tangan Rina kini menopang tubuhnya ke permukaan pintu kulkas.
"Ibu..., sekarang!"
"Ahhkk", Rina berteriak, saat Anto menyodokkan penisnya dengan keras ke liang vaginanya dari belakang. Dalam hatinya ia sangat menikmati hal ini, pemuda yang tadinya pasif berubah menjadi liar.
"Antoo..., enakk..., ohh..., ohh". Tubuh Rina bagai tanpa tenaga menikmati kenikmatan yang tiada taranya. Tangan Anto satu menyangga tubuhnya, sementara yang lain meremas payudaranya. Dan penisnya yang keras melumat liang vaginanya.
"Ibu menikmati ini khan", bisik Anto di telinganya
"Ahh..., hh", Rina hanya merintih, setiap merasakan sodokan keras dari belakang.
"Jawab..., Ibu", dengan keras Anto mengulangi sodokannya.
"Ahh...,iyaa"
"Anto..., Anto jangann..., di dal.. La" belum sempat ia meneruskan kalimatnya, Rina telah merasakan cairan hangat di liang vaginanya menyemprot keras. Kepalang basah ia kemudian menyodokkan keras pinggulnya.
"Uuhgghh", penis Anto yang berlepotan mani itupun amblas lagi ke dalam liang Rina."Ahh".

Kedua insan itupun tergolek lemas menikmati apa yang baru saja mereka rasakan.

Setelah kejadian dengan Anto, Rina masih sering bertemu dengannya guna mengulangi lagi perbuatan mereka. Namun yang mengganjal hati Rina adalah jika Anto kemudian membocorkan hal ini ke teman-temannya.

Ketika Rina berjalan menuju mobilnya seusai sekolah bubar, perhatiannya tertumbuk pada seorang muridnya yang duduk di sepeda motor di samping mobilnya, katakanlah dia Reza. Ia berbeda dengan Anto, anaknya agak pembuat onar jika di kelas, kekar dan nakal. Hatinya agak tidak enak melihat situasi ini.
"Bu Rina salam dari Anto", Reza melemparkan senyum sambil duduk di sepeda motornya.
"Terima kasih, boleh saya masuk", Ia harus berkata begitu karena sepeda motor Reza menghalangi pintu mobilnya.
"Boleh..., boleh Bu saya juga ingin pelajaran tambahan seperti Anto."
Langkah Rina terhenti seketika. Namun otaknya masih berfungsi normal, meskupun sempat kaget.
"Kamu kan nilainya bagus, nggak ada masalah kan..", sambil duduk di balik kemudi.
"Ada sedikit sih kalau Ibu nggak bisa mungkin kepala guru bisa membantu saya, sekaligus melaporkan pelajaran Anto", Reza tersenyum penuh kemenangan.
"Apa hubungannya?", Keringat mulai menetes di dahi Rina.
"Sudahlah kita sama-sama tahu Bu. Saya jamin pasti puas".

Tanpa menghiraukan omongan muridnya, Rina langsung menjalankan mobilnya ke rumahnya. Namun ia sempat mengamati bahwa muridnya itu mengikutinya terus hingga ia menikung untuk masuk kompleks perumahan.
Setelah mandi air hangat, ia bermaksud menonton TV di ruang tengah. Namun ketika ia hendak duduk pintu depan diketuk oleh seseorang. Rina segera menuju pintu itu, ia mengira Anto yang datang. Ternyata ketika dibuka
"Reza! Kenapa kamu ngikuutin saya!", Rina agak jengkel dengan muridnya ini.
"Boleh saya masuk?".
"Tidak!".
"Apa guru-guru perlu tahu rahasiamu?".
"!!"dengan geram ia mempersilakan Reza masuk.
"Enak ya rumahnya, Bu", dengan santainya ia duduk di dekat TV. "Pantas aja Anto senang di sini".
"Apa hubunganmu dengan Anto?, Itu urusan kami berdua", dengan ketus Rina bertanya.
"Dia teman dekat saya. Tidak ada rahasia diantara kami berdua".
"Jadi artinya", Kali ini Rina benar-benar kehabisan akal. Tidak tahu harus berbuat apa.
"Bu, kalo saya mau melayani Ibu lebih baik dari Anto, mau?", Reza bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Rina.
Rina masih belum bisa menjawab pertanyaan muridnya itu. Tubuhnya panas dingin.

Rina masih belum bisa menjawab pertanyaan muridnya itu. Tubuhnya panas dingin. Belum sempat ia menjawab, Reza telah membuka ritsluiting celananya. Dan setelah beberapa saat penisnya meyembul dan telah berada di hadapannya.
"Bagaimana Bu, lebih besar dari Anto khan?".
Reza ternyata lebih agresif dari Anto, dengan satu gerakan meraih kepala Rina dan memasukkan penisnya ke mulut Rina.
"Mmpfpphh".
"Ahh yaa..., memang Ibu pandai dalam hal ini. Nikmati saja Bu..., nikmat kok"
Rupanya nafsu menguasai diri Rina, menikmati penis yang besar di dalam mulutnya, ia segera mengulumnya bagai permen. Dijilatinya kepala penis pemuda itu dengan semangat. Kontan saja Reza merintih keenakan.
"Aduhh..., nikmat sekali Bu oohh", Reza menyodok-nyodokkan penisnya ke dalam mulut Rina, sementara tangannya meremas-remas rambut ibu gurunya itu. Rina merasakan penis yang diisapnya berdenyut-denyut. Rupanya Reza sudah hendak keluar.
"oohh..., Ibu enakk..., enakk..., aahh".
Cairan mani Reza muncrat di mulut Rina, yang segera menelannya. Dijilatinya penis yang berlepotan itu hingga bersih. Kemudian ia berdiri.
"Sudahh..., sudah selesai kamu bisa pulang", Namun Rina tidak bisa memungkiri perasaannya. Ia menikmati mani Reza yang manis itu serta membayangkan bagaimana rasanya jika penis yang besar itu masuk ke vaginanya.
"Bu, ini belum selesai. Mari ke kamar, akan saya perlihatkan permainan yang sebenarnya."
"Apa! beraninya kamu memerintah!", Namun dalam hatinya ia mau. Karenanya tanpa berkata-kata ia berjalan ke kamarnya, Reza mengikuti saja.


Setelah ia di dalam, Rina tetap berdiri membelakangi muridnya itu. Ia mendengar suara pakaian jatuh, dugaannya pasti Reza sedang mencopoti pakaiannya. Ia pun segera mengikuti jejak Reza. Namun ketika ia hendak melepaskan kancing dasternya.
"Sini saya teruskan", ia mendengar Reza berbisik ke telinganya. Tangan Reza segera membuka kancing dasternya yang terletak di bagian depan. Kemudian setelah dasternya jatuh ke lantai, tangan itupun meraba-raba payudaranya. Rina juga merasakan penis pemuda itu diantara belahan pantatnya.
"Gilaa..., besar amat", pikirnya. Tak lama kemudian iapun dalam keadaan polos. Penis Reza digosok-gosokkan di antara pantatnya, sementara tangan pemuda itu meremasi payudaranya. Ketika jemari Reza meremas puting susu Rina, erangan kenikmatan pun keluar.
"mm oohh".
Reza tetap melakukan aksi peremasan itu dengan satu tangan, sementara tangan satunya melakukan operasi ke vagina Rina.
"Reza..., aahh..., aahh", Tubuh Rina menegang saat pentil clitorisnya ditekan-tekan oleh Reza.
"Enak Bu?", Reza kembali berbisik di telinga gurunya yang telah terbakar oleh api birahi itu.

Rina hanya bisa menngerang, mendesah, dan berteriak lirih. Saat usapan, remasan, dan pekerjaan tangan Reza dikombinasi dengan gigitan ringan di lehernya. Tiba-tiba Reza mendorong tubuh Rina agar membungkuk. Kakinya di lebarkan.
"Kata Anto ini posisi yang disukai Ibu"
"Ahhkk..., hmm..., hmmpp", Rina menjerit, saat Reza dengan keras menghunjamkan penisnya ke liang vaginanya dari belakang."
"Ugghh..., innii..., innii", Reza medengus penuh gairah dengan tiap hunjaman penisnya ke liang Rina. Rinapun berteriak-teriak kenikmatan, saat liang vaginanya yang sempit itu dilebarkan secara cepat.
"Adduuhh..., teruss.., teruss Rezaa..., oohh", Kepala ibu guru itu berayun-ayun, terpengaruh oleh sodokan Reza. Tangan Reza mencengkeram pundak Rina, seolah-olah mengarahkan tubuh gurunya itu agar semakin cepat saja menelan penisnya.
"Oohh Rina..., Rinnaa".
Rina segera merasakan cairan hangat menyemprot di dalam vaginanya dengan deras. Matanya terpejam menikmati perasaan yang tidak bisa ia bayangkan.

Rina masih tergolek kelelahan di tempat tidur. Rambutnya yang hitam panjang menutupi bantalnya, dadanya yang indah naik-turun mengikuti irama nafasnya. Sementara itu vaginanya sangat becek, berlepotan mani Reza dan maninya sendiri. Reza juga telajang bulat, ia duduk di tepi tempat tidur mengamati tubuh gurunya itu. Ia kemudian duduk mendekat, tangannya meraba-raba liang vagina Rina, kemudian dipermainkannya pentil kelentit gurunya itu.
"mm capek..., mm", bibir Rina mendesah saat pentilnya dipermainkan. Sebenarnya ia sangat lelah, tapi perasaan terangsang yang ada di dalam dirinya mulai muncul lagi. Dibukanya kakinya lebar-lebar sehingga memberikan kemudahan bagi Reza untuk memainkan clitorisnya.
"Rezz aahh", Tubuh Rina bergetar, menggelinjang-gelinjang saat Reza mempercepat permainan tangannya.
"Bu..., balik..., Reza pengin nih"
"Nakal kamu ahh", dengan tersenyum nakal, Rina bangkit dan menungging. Tangannya memegang kayu dipan tempat tidurnya. Matanya terpejam menanti sodokan penis Reza. Reza meraih payudara Rina dari belakang dan mencengkeramya dengan keras saat ia menyodokkan penisnya yang sudah tegang
"Adduuhh..., owwmm", Rina mengaduh kemudian menggigit bibirnya, saat lubang vaginannya yang telah licin melebar karena desakan penis Reza.
"Bu Rina nikmat lho vagina Ibu..., ketat", Reza memuji sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"mm..., aahh..., ahh..., ahhkk", Rina tidak bisa bertahan untuk hanya mendesah. Ia berteriak lirih seiring gerakan Reza. Badannya digerakkannya untuk mengimbangi serangan Reza. Kenikmatan ia peroleh juga dari remasan muridnya itu.
"Ayoo..., aahh.., ahh... Mm.., buat Ibu keluuaa.. Rr lagi...". Gerakan Rina makin cepat menerima sodokan Reza.

Tangan Reza beralih memegangi tubuh Rina, diangkatnya gurunya itu sehingga posisinya tidak lagi "doggy style", melainkan kini Rina menduduki penisnya dengan membelakangi dirinya. Reza kini telentang di tempat tidur yang acak-acakan dan penuh oleh mani yang mengering.
"Ooww..", Teriakan Rina terdengar keras saat ia tidak bisa lagi menahan orgasmenya. Tangannya mencengkeram tangan Reza, kepalanya mendongak menikmati kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sementara Reza sendiri tetap menusuk-nusukkan penisnya ke vagina Rina yang makin becek.
"Ayoo..., makin dalam dalamm".
"Ahh.., aahh..., aahh..", Rezapun mulai berteriak-teriak.
"Mau kelluuaarr"
Rina sekali lagi memejamkan matanya, saat mani Reza menyemprot dalam liang vaginanya. Rina kemudian ambruk menindih tubuh Reza yang basah oleh keringat. Sementara diantara kaki-kaki mereka mengalir cairan hangat hasil kenikmatan mereka.
"Bu Rina..., sungguh luar biasa, Coba kalau Anto ada disini sekarang".
"mm memangnya kamu mau apa", Rina kemudian merebahkan dirinya di samping Reza. Tangannya mengusap-usap puting Reza.
"Kita bisa main bertiga, pasti lebih nikmat.."
Rina tidak bisa menjawab komentar Reza, sementara perasaannya dipenuhi kebingungan.

Akhirnya hari kelulusan murid klas 3 sampai juga. Dengan demikian Rina harus berpisah dengan kedua murid yang disayanginya, terlebih lagi ketika ia harus pindah ke kota lain untuk menempati pos baru di Kanwil. Karenanya ia memanggil Anto untuk datang ke rumahnya untuk memberitahukan perihal kepindahannya.
Ketika seputar Indonesia mulai ditayangkan, Anto muncul. Ia langsung dipersilakan duduk.
"Bu, Anto kangen lho".
"Iya deh..., nanti. Gini, Ibu bulan depan pindah ke kota B, soalnya akan dinaikkan pangkatnya. Jadi..., jadi..., Ibu ingin malam ini malam terakhir kita", mata Rina berkaca-kaca ketika mengucapkan itu.
"…………..", Anto tidak bisa menjawab. Ia kaget mendengar berita itu. Baginya Rina merupakan segalanya, terlebih lagi ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari gurunya itu.
"Tapi Anto masih boleh berkirim surat kan?".
Rina bisa sedikit tersenyum melihat muridnya tabah, "Iya..., boleh..., boleh".
"Minum dulu Nto, ada es teh di meja makan. Kalau sudah nonton VCD di kamar yaa", Rina mengerling nakal ke muridnya sambil beranjak ke kamar. Di kamar ia mengganti pakaiannya dengan kimono kegemarannya, melepas BH, menghidupkan AC dan tentu saja menyetel VCD 'Kamasutra-nya Penthouse". Lalu ia tengkurap di tempat tidur sambil menonton TV.

Diluar Anto meminum es teh yang disediakan Rina dan membiarkan pintu depan tidak terkunci. Ia mempunyai rencana yang telah disusun rapi.
Lalu Anto menyusul Rina ke kamar tidur. Begitu pintu dibuka ia melihat gurunya tengkurap menonton VCD dengan dibalut kimono merah tipis, lekuk tubuhnya jelas terlihat. Rambutnya yang panjang tergerai di punggungnya bagai gadis iklan shampo Pantene.
"Ganti pakaian itu Nto..", Rina menunjuk celana pendek dan kaos tipis yang terlipat rapi di meja riasnya.

Ketika Anto sedang mencopot celananya Rina sempat melihat penis pemuda itu menyembul di balik CD GT Man-nya. Setelah selesai Anto juga tengkurap di samping Rina.
"Sudah liat film ini belum? Bagus lho untuk info posisi-posisi ngesex".
"Belum tuh...", Mata Anto tertuju pada posisi dimana si wanita berdiri memegang pohon sementara si pria memasukkan penisnya dari belakang, sambil meremas-remas payudara partnernya.
"mm..., itu posisi fave saya. Kalau kamu suka nanti CD itu bisa kamu ambil".
"Thanx..", Anto kemudian mengecup pipi gurunya.

Adegan demi adegan terus bergulir, suasana pun menjadi semakin panas. Rina kini tengkurap dengan tidak lagi mengenakan selembar benangpun. Demikian pula Anto. Anto kemudian duduk di sebelah gurunya itu, dibelainya rambut Rina dengan lembut, kemudian disibakkannya ke sebelah kiri. Bibir Anto kemudian menciumi tengkuk Rina, dijilatinya rambut-rambut halus yang tumbuh lebat.
"aahh..."
Setelah puas, Anto kemudian memberi isyarat pada Rina agar duduk di pangkuannya.
"Bu, biar Anto yang puasin ibu malam ini...", Bisik Anto di telinga Rina. Rina yang telah duduk di pangkuan Anto pasrah saja saat kedua tangan muridnya meremas-remas payudaranya yang liat. Kemudian ia menjerit lirih saat puting susunya mendapat remasan.
"Akhh...", Rina memejamkan matanya.
"Anto..., jilatin vagina ibu..."

Anto kemudian merebahkan Rina, dibukanya kaki gurunya itu lebar-lebar, kemudian dengan perlahan ia mulai menjilati vagina gurunya. Bau khas dari vagina yang telah basah oleh gairah itu membuat Anto kian bernafsu.
"oohh..., teruss..., teruuss...", Rina bergetar merasakan kenikmatan itu. Tangannya membimbing tangan Anto dalam meremasi susunya. Memberikan kenikmatan ganda.
"Jilatin..., pentil itu..., oohohh", Bagai dikomando Anto menjilati pentil clitoris Rina, dengan penuh semangat.
"Aduuhh….. Oohh…oohh…hh.. Hh….."
"Anto..., massuukk".

Kaki Rina kemudian disampirkannya ke pundak, dan dengan cepat disodokkannya penisnya ke vagina Rina yang becek.
"mm...", Rina menggigit bibirnya. Meskipun lubang vaginanya telah licin, namun penis yang besar itu tetap saja agak kesulitan menerobos masuk.
"Uuhh..., masih susah juga ya Bu...", Anto sambil meringis memaju mundurkan penisnya. Ia merasakan penisnya bagai diremas-remas oleh tangan yang sangat halus saat di dalam. Tangan Rina mempermainkan puting Anto. Dengan gemas dicubitnya hingga Anto berteriak.
"Uhh..., nakal, Ini balasannya!", sodokan Anto makin keras, lebih keras dari saat ia memasukkan penisnya.
"aa...".

Tiba-tiba pintu kamar tebuka! Spontan Rina terkejut, tapi tidak bagi Anto. Reza sudah berdiri di muka pintu, senjatanya telah tegak berdiri.
"mm..., hot juga permainan Ibu dengan Dia, boleh saya bergabung?", Reza kemudian berjalan mendekati mereka. Rina yang hendak berdiri ditahan oleh Anto, yang tetap menjaga penisnya di dalam vagina rina.
"Nikmati saja..."
Reza kemudian mengangkangi Rina, penisnya berada tepat di mukanya.
"Isap... Ayoo", sambil memasukkan penisnya. Saat itu pula Anto menghentakkan gerakannya. Saat Rina berteriak, saat itu pula penis Reza masuk.
"Ahh..., nikmat..", Rina merem-melek menghisap-hisap penis muridnya, sementara Anto dengan puas menggarap vaginanya.
"uufff..., jilatin..., jilatt", tangan Reza memegangi kepala Rina, agar semakin dalam saja mengisap penisnya.

Posisi itu tetap bertahan hingga akhirnya Anto keluar duluan. Maninya menyemprot dengan leluasa di lubang vagina gurunya yang cantik. Sementara Reza tetap mengerang-erang sambil medorong-dorong kepala Rina.
Setelah Anto mengeluarkan penisnya dari vagina Rina, "Berdiri menghadap tembok Bu!"
Rina masih kelelahan. Ia telah orgasme pula saat Anto keluar, namun ia tidak bisa teriak karena ada penis di mulutnya. Saat ia berdiri dengan tangan di tembok menahan tubuhnya, mani anto menetes ke lantai.
"mm..., Nto..., liat tuh punya kamu..", seru Reza sambil tertawa. Ia kemudian menempelkan tubuhnya ke Rina. Penisnya tepat berada di antara kedua pantat Rina.
"Nih Bu rasakan punya Reza juga ya".

Anto dengan santai menyaksikan temannya menggarap gurunya dari belakang. Tangan Reza memegangi pinggang Rina saat ia menyodok-nyodokkan penisnya keluar masuk dengan cepat. Saat Rina merintih-rintih menikmati permainan mereka, Anto merasakan penisnya tegang lagi. Ia tidak tahan melihat pemandangan yang sangat erotik sekali.
Kedua insan itu saling mengaduh, mendesah, dan berteriak lirih seiring kenikmatan yang mereka berikan dan rasakan.
"ooww...", Tubuh Rina yang disangga Reza menegang, kemudian lemas. Anto menduga mereka berdua telah sampai di puncak kenikmatan. Timbul isengnya, ia kemudian mendekati mereka dan menyusup diantara Rina dan tembok. Dipindahkannya tangan Rina ke pundaknya, dan penisnya menggantikan posisi milik Reza.
"Anto...", Lagi-lagi Rina mendesah saat penis Anto masuk dan pinggulnya didorong oleh Reza dari belakang.
"Ahh.. Ahh…. Dorongg…dorongg…………."
"aa.. Aa... Aa".
"oohhkk..., kk..., kk..", Rina berteriak keras sekali, saat dorongan Reza sangat keras menekan pinggulnya. penis Anto amblas hingga mencapai pangkalnya masuk ke vagina Rina. Saat itu pula ia merasakan penis yang berdenyut-denyut itu melepaskan muatannya untuk kedua kali.

Malam itu merupakan malam yang liar bagi ketiga insan yang akan berpisah itu. Malam yang tidak bisa mereka lupakan untuk selamanya.

PembantuKu yang Mengiurkan : Mbak Dian yang Aduhai-2

Namaku Rio, aku berusia 28 tahun dan telah bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sekitar tahun 1998 aku berkenalan dengan seorang gadis bernama Ester di bengkel mobil XX (edited) di Jalan Prof. Dr. Soepomo, Tebet, Jakarta.

Awalnya, aku hendak menservis mobil kawanku di bengkel tersebut. Ketika sedang mendaftar, mataku tertuju pada sesosok tubuh wanita yang ternyata belakangan kuketahui bernama Ester, dan berprofesi sebagai Lady Service Advisor di bengkel tersebut. Kulitnya sawo matang, wajah cukup manis dan.., ini yang terutama mempunyai payudara dengan ukuran yang cukup besar (kutaksir sekitar 36B). Saat aku memandangnya, dia tanpa sengaja melihat pula ke arahku, kami beradu pandang, terasa ada sesuatu yang mengalir di dadaku, aku balas tersenyum padanya, dia tertunduk malu.

Sekitar 1 jam mobil kawanku selesai servis, kami membayar biayanya, saat di kasir ternyata Ester sedang duduk di sana, kami berpandangan lagi dan sekali lagi kuberikan senyumku yang (menurutku) cukup manis. Dan, my God dia balas tersenyum lagi.

Sesampai di rumah, dan setelah kawanku pulang, aku telepon bengkel tadi (nomernya kudapat dari kwitansi kawanku tadi), aku minta bicara dengan Ester.
“Halo, dengan siapa ini?”, demikian suara Ester di seberang sana. Ooh, sungguh seksi sekali suaranya.
“Dengan Rio di sini. Saya yang tadi servis mobil dengan kawan saya dan yang berpandangan dengan kamu tadi. Boleh saya berkenalan dengan kamu?”, tanya saya.
“Oh, Pak Rio. Iya saya ingat Pak. Ada keperluan apa Pak?”, tanya Ester.
Waduh ini cewek, bikin penasaranku makin menjadi aja pikirku.
“Saya ingin kenalan sama kamu, dan kalau mungkin saya berharap kita bisa ketemu lagi”, jawabku.
“Memangnya kenapa Bapak mau ketemu saya lagi?”, tanya Ester.
“Karena kamu cantik, dan saya tertarik sama kamu sejak pertama memandang kamu tadi”, kataku (biar aja sekalian ngomong to the point and ngegombal sekalian).
Ester tertawa kecil, “Bapak pintar ngerayu nih. Tapi hari ini saya tidak bisa, bagaimana kalau besok lusa Bapak temui saya sepulang kerja, di bengkel sekitar jam 18.00, Ok?”
“Ok deh”, jawab saya tanpa pikir panjang lagi.

Lusa, hari Rabu saya jemput Ester di bengkel sesuai janji kita, jam 18.00 tepat. Setelah say hello dan basa-basi sebentar, kita sudah meluncur di jalan raya.
“Mau ke mana kita?”, kata Ester.
“Kamu maunya ke mana?”, tanya saya.
Di luar dugaan Ester bilang kalau dia ingin sekali belajar mobil. So, kita meluncur ke parkir timur Senayan, tempat belajar mobil.

Sayapun bertukar duduk dengan Ester, kita mulai berputar-putar, tiba-tiba sebuah mobil yang juga sedang belajar mengerem mendadak di depan kami. Ester menginjak rem secara mendadak, mesin mobil mati. “Aduuh” pekik Ester. Dadanya terkena setir mobil. “Dada saya nyeri Rio” katanya. Akupun bertukar duduk lagi, dan menepikan mobilku. Kuperiksa dadanya.., dan entah bagaimana awalnya tanganku meremas payudaranya. Ester merintih, “Aahh, Rio” desahnya. Dan aku mendadak menjadi amat terangsang, kuciumi lehernya, dadanya, kutanggalkan branya, dan mataku terbeliak melihat payudara yang demikian besar menyembul dari bra Ester.

Aku makin “spanning”, kuciumi puting susunya, kuhisap, kugigit kecil, terus sampai ke perut dan pusarnya, sampai ciumanku terhalang oleh celana dalamnya. Kutarik celana dalamnya kebawah, kuciumi selangkangan, bibir vagina, clitoris dan bagian dalam vaginanya, bau khas menyeruak ke hidungku. Kurasakan basah liang vaginanya. Ester mendesah, “Ooohh.., teeruus sayangg.., kamu hebaat sekalii.., aahh teeruuss Franky..”, desah Ester. Aku menarik kepalaku, “Siapa Franky?” tanyaku. Tapi rupanya “foreplay” yang kulakukan sudah membuat Ester amat terangsang, terlebih ketika kuciumi belakang telinganya, Ester meronta, merintih, menggelinjang sambil tangannya membuka paksa kemeja dan celana jeans-ku (Ssstt, kemejaku sampai copot 2 kancingnya).

Karena kurang leluasa kami pindah ke jok belakang mobil, Ester merintih, “Rrriioo.., buka doong celana dalam kamuu.., Ester udah pengen banget niih.., ayoo sayaang”. Aku yang juga sudah klimaks sekali segera membuka celana dalamku, kuarahkan penisku yang sudah teramat tegang liang vagina milik Ester, kuturunkan perlahan-lahan, Ester tiba-tiba melingkarkan kedua kakinya di pinggangku dan menekannya ke bawah. Peniskupun amblas ke dalam vaginanya, “Bleess.., ampuunn nikmatnya”, kurasakan vagina Ester sudah demikian basahnya sehingga tak sulit untuk penisku keluar masuk berirama. Kurasakan sedotan jauh di dalam sana. Ester menggelinjang, meronta, menendang, dan akhirnya sambil menggigit kuat bahuku Ester mendesah panjang dan bersamaan kurasakan cairan membasahasi penisku jauh di dasar vagina Ester.

Ester tersenyum puas, “Kamu hebat Rio, punyamu jauh lebih hebat dari punya pacarku”. Oh, baru aku tahu kalau Franky itu adalah pacar Ester, but who cares? ceweknya yang mau kok. Aku yang belum ejakulasi lalu meminta Ester untuk “nungging” (susah juga nih dalam mobil). Kutusukkan kemaluanku, selangkanganku beradu dengan pantatnya, gerakan kami makin cepat, cepat, dan akhirnya aku tak tahan lagi, sambil mencengkeram kuat bahu dan rambut Ester kusemprotkan seluruh cairan maniku dalam vaginanya, “Creett.., creett..”, aahh enaknya. Setelah itu kami berbaring bertindihan, berciuman lama dan bernafsu sekali.

Sekitar jam 22.00 kuantar Ester pulang ke tempat kosnya di Kebon Kacang (dekat Plaza Indonesia). Diluar tempat kosnya kulihat seorang pria sedang duduk menunggu.
“Siapa Dia Ester?”, tanyaku.
“Itu dia Franky, cowokku”, jawab Ester tersenyum.
“Kamu begituan juga sama dia”, tanyaku.
“Iya, tapi punya dia nggak seenak punya kamu Rio. Baru 3 menit juga dia udah keluar Payah”, kata Ester.
“Dasar nakal kamu”, kata saya.
Kami berciuman dan Esterpun masuk rumah kosnya. Aku pulang dan dalam perjalanan aku tersenyum sendiri membayangkan pengalamanku barusan. Kasihan si Franky, tapi Ester memang nikmat.

Sekarang kudengar Ester sudah menikah dengan Franky (kata Kristine adiknya, yang bekerja di Wisma Nusantara). Kami masih “berhubungan” (tentunya sekarang ekstra hati-hati, karena ada si “bloon” Franky suami Ester).But no problem karena aku biasa hub. Ester dulu kalu mau ketemu di rumahnya di 471XX (edited)

Ester adalah wanita terhebat dalam bercinta di antara beberapa cewekku yang lain. Seksi, payudara besar, montok, liar di ranjang, dan vagina yang mengisap nikmat. Aku amat menikmati setiap jengkal tubuhnya

Nikmatnya tubuh esther

Namaku Rio, aku berusia 28 tahun dan telah bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sekitar tahun 1998 aku berkenalan dengan seorang gadis bernama Ester di bengkel mobil XX (edited) di Jalan Prof. Dr. Soepomo, Tebet, Jakarta.

Awalnya, aku hendak menservis mobil kawanku di bengkel tersebut. Ketika sedang mendaftar, mataku tertuju pada sesosok tubuh wanita yang ternyata belakangan kuketahui bernama Ester, dan berprofesi sebagai Lady Service Advisor di bengkel tersebut. Kulitnya sawo matang, wajah cukup manis dan.., ini yang terutama mempunyai payudara dengan ukuran yang cukup besar (kutaksir sekitar 36B). Saat aku memandangnya, dia tanpa sengaja melihat pula ke arahku, kami beradu pandang, terasa ada sesuatu yang mengalir di dadaku, aku balas tersenyum padanya, dia tertunduk malu.

Sekitar 1 jam mobil kawanku selesai servis, kami membayar biayanya, saat di kasir ternyata Ester sedang duduk di sana, kami berpandangan lagi dan sekali lagi kuberikan senyumku yang (menurutku) cukup manis. Dan, my God dia balas tersenyum lagi.

Sesampai di rumah, dan setelah kawanku pulang, aku telepon bengkel tadi (nomernya kudapat dari kwitansi kawanku tadi), aku minta bicara dengan Ester.
“Halo, dengan siapa ini?”, demikian suara Ester di seberang sana. Ooh, sungguh seksi sekali suaranya.
“Dengan Rio di sini. Saya yang tadi servis mobil dengan kawan saya dan yang berpandangan dengan kamu tadi. Boleh saya berkenalan dengan kamu?”, tanya saya.
“Oh, Pak Rio. Iya saya ingat Pak. Ada keperluan apa Pak?”, tanya Ester.
Waduh ini cewek, bikin penasaranku makin menjadi aja pikirku.
“Saya ingin kenalan sama kamu, dan kalau mungkin saya berharap kita bisa ketemu lagi”, jawabku.
“Memangnya kenapa Bapak mau ketemu saya lagi?”, tanya Ester.
“Karena kamu cantik, dan saya tertarik sama kamu sejak pertama memandang kamu tadi”, kataku (biar aja sekalian ngomong to the point and ngegombal sekalian).
Ester tertawa kecil, “Bapak pintar ngerayu nih. Tapi hari ini saya tidak bisa, bagaimana kalau besok lusa Bapak temui saya sepulang kerja, di bengkel sekitar jam 18.00, Ok?”
“Ok deh”, jawab saya tanpa pikir panjang lagi.

Lusa, hari Rabu saya jemput Ester di bengkel sesuai janji kita, jam 18.00 tepat. Setelah say hello dan basa-basi sebentar, kita sudah meluncur di jalan raya.
“Mau ke mana kita?”, kata Ester.
“Kamu maunya ke mana?”, tanya saya.
Di luar dugaan Ester bilang kalau dia ingin sekali belajar mobil. So, kita meluncur ke parkir timur Senayan, tempat belajar mobil.

Sayapun bertukar duduk dengan Ester, kita mulai berputar-putar, tiba-tiba sebuah mobil yang juga sedang belajar mengerem mendadak di depan kami. Ester menginjak rem secara mendadak, mesin mobil mati. “Aduuh” pekik Ester. Dadanya terkena setir mobil. “Dada saya nyeri Rio” katanya. Akupun bertukar duduk lagi, dan menepikan mobilku. Kuperiksa dadanya.., dan entah bagaimana awalnya tanganku meremas payudaranya. Ester merintih, “Aahh, Rio” desahnya. Dan aku mendadak menjadi amat terangsang, kuciumi lehernya, dadanya, kutanggalkan branya, dan mataku terbeliak melihat payudara yang demikian besar menyembul dari bra Ester.

Aku makin “spanning”, kuciumi puting susunya, kuhisap, kugigit kecil, terus sampai ke perut dan pusarnya, sampai ciumanku terhalang oleh celana dalamnya. Kutarik celana dalamnya kebawah, kuciumi selangkangan, bibir vagina, clitoris dan bagian dalam vaginanya, bau khas menyeruak ke hidungku. Kurasakan basah liang vaginanya. Ester mendesah, “Ooohh.., teeruus sayangg.., kamu hebaat sekalii.., aahh teeruuss Franky..”, desah Ester. Aku menarik kepalaku, “Siapa Franky?” tanyaku. Tapi rupanya “foreplay” yang kulakukan sudah membuat Ester amat terangsang, terlebih ketika kuciumi belakang telinganya, Ester meronta, merintih, menggelinjang sambil tangannya membuka paksa kemeja dan celana jeans-ku (Ssstt, kemejaku sampai copot 2 kancingnya).

Karena kurang leluasa kami pindah ke jok belakang mobil, Ester merintih, “Rrriioo.., buka doong celana dalam kamuu.., Ester udah pengen banget niih.., ayoo sayaang”. Aku yang juga sudah klimaks sekali segera membuka celana dalamku, kuarahkan penisku yang sudah teramat tegang liang vagina milik Ester, kuturunkan perlahan-lahan, Ester tiba-tiba melingkarkan kedua kakinya di pinggangku dan menekannya ke bawah. Peniskupun amblas ke dalam vaginanya, “Bleess.., ampuunn nikmatnya”, kurasakan vagina Ester sudah demikian basahnya sehingga tak sulit untuk penisku keluar masuk berirama. Kurasakan sedotan jauh di dalam sana. Ester menggelinjang, meronta, menendang, dan akhirnya sambil menggigit kuat bahuku Ester mendesah panjang dan bersamaan kurasakan cairan membasahasi penisku jauh di dasar vagina Ester.

Ester tersenyum puas, “Kamu hebat Rio, punyamu jauh lebih hebat dari punya pacarku”. Oh, baru aku tahu kalau Franky itu adalah pacar Ester, but who cares? ceweknya yang mau kok. Aku yang belum ejakulasi lalu meminta Ester untuk “nungging” (susah juga nih dalam mobil). Kutusukkan kemaluanku, selangkanganku beradu dengan pantatnya, gerakan kami makin cepat, cepat, dan akhirnya aku tak tahan lagi, sambil mencengkeram kuat bahu dan rambut Ester kusemprotkan seluruh cairan maniku dalam vaginanya, “Creett.., creett..”, aahh enaknya. Setelah itu kami berbaring bertindihan, berciuman lama dan bernafsu sekali.

Sekitar jam 22.00 kuantar Ester pulang ke tempat kosnya di Kebon Kacang (dekat Plaza Indonesia). Diluar tempat kosnya kulihat seorang pria sedang duduk menunggu.
“Siapa Dia Ester?”, tanyaku.
“Itu dia Franky, cowokku”, jawab Ester tersenyum.
“Kamu begituan juga sama dia”, tanyaku.
“Iya, tapi punya dia nggak seenak punya kamu Rio. Baru 3 menit juga dia udah keluar Payah”, kata Ester.
“Dasar nakal kamu”, kata saya.
Kami berciuman dan Esterpun masuk rumah kosnya. Aku pulang dan dalam perjalanan aku tersenyum sendiri membayangkan pengalamanku barusan. Kasihan si Franky, tapi Ester memang nikmat.

Sekarang kudengar Ester sudah menikah dengan Franky (kata Kristine adiknya, yang bekerja di Wisma Nusantara). Kami masih “berhubungan” (tentunya sekarang ekstra hati-hati, karena ada si “bloon” Franky suami Ester).But no problem karena aku biasa hub. Ester dulu kalu mau ketemu di rumahnya di 471XX (edited)

Ester adalah wanita terhebat dalam bercinta di antara beberapa cewekku yang lain. Seksi, payudara besar, montok, liar di ranjang, dan vagina yang mengisap nikmat. Aku amat menikmati setiap jengkal tubuhnya.

Pertemuan Tak Terduga dan Kembalinya Indi

Sore itu cerah dan sejuk sekali di kota B; langit tampak terang tetapi angin dingin berhembus membelai pucuk-pucuk pohon besar yang memenuhi kampus. Sambil bersiul-siul sembarangan, Kino meninggalkan ruang kelas, menuju gerbang utama untuk pulang. Tigor dan Ridwan punya acara tersendiri, sementara Rima tidak masuk hari ini karena flu. Kino pun malas pulang ke tempat kostnya, dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pertokoan pusat kota sendirian, sekedar melihat-lihat pajangan di toko, atau mungkin membeli kaset kalau ada yang bagus.

Senang juga rasanya sesekali berjalan sendirian, tidak terikat teman dan tidak punya tujuan jelas. Kino seakan-akan membiarkan kakinya melangkah tanpa perintah otaknya. Mulanya ia menyusuri toko-toko di pinggir jalan yang berjualan kain, pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Sesekali ia berhenti, melihat ada obral jeans, tetapi tidak membeli karena toh masih juga mahal. Kemudian ia masuk ke sebuah mall, membiarkan tubuhnya dibawa lift ke lantai 5, tempat kebanyakan toko musik berada. Di sini dia berlama-lama, melihat-lihat kaset terbaru, tetapi memutuskan untuk tidak membeli.

Lalu ia turun ke lantai dua, tempat sebuah pasar swalayan menggelar barang dagangan mereka seantero lantai. Kino sendiri tidak tahu, untuk apa ia ke sini, karena ia memang tidak bermaksud membeli apa-apa. Atau mungkin membeli minuman ringan, pikir Kino sambil berjalan menuju rak minuman.

Seketika itulah, saat Kino membelok ke gang nomor 5 yang penuh berisi jejeran minuman, dia baru tahu kenapa kakinya melangkah ke swalayan ini. Kakinya ternyata lebih punya insting dibandingkan otaknya. Kakinya ternyata lebih cerdas daripada kepalanya, dan tidak pelu malu kalau ada yang mengatakan "otakmu di dengkul", bukan? Karena kini di depannya, tidak lebih dari 5 langkah darinya, berdiri Tris, sang bidadari itu! Kino sejenak menghentikan langkah, merasakan jantungnya berdegup keras sekali.

Tris yang sedang memilih-milih minuman sendirian (mungkin Ria menunggu di rumah) segera menengok karena merasa ada orang yang memandangnya.

"Hai!" sapa sang bidadari itu ringan sambil melepas senyumnya yang mempesona, sambil menembakkan sinar matanya yang melebihi tajam sinar laser dalam robot-robot di film Spielberg, sambil mengibas rambutnya dalam gerakan indah seperti penari khayangan itu, sambil...

"Kenapa bengong seperti itu?" ucap Tris sambil memutar tubuh menghadap Kino. Senyumnya masih berkembang seakan-akan tersenyum adalah bagian dari gaya hidupnya.

Kino gelagapan, menyahut sekenanya. Entah apa yang diucapkan, dia sendiri tidak tahu. Kata-kata keluar begitu saja dari mulutnya, dan Kino mengeluh dalam hati, mengapa sekarang semua anggota badanku bergerak sendiri-sendiri. Kakiku melangkah sendiri, kini mulutku juga bertindak serupa. Jantungku apalagi, berdegup cepat tak terkendali.

"Oh, begitu!" sahut Tris sambil tertawa kecil. Ah, Kino mengeluh lagi dalam hati. Apa yang tadi kuucapkan sehingga ia tertawa. Pastilah sesuatu yang konyol!

"Sedang apa?" akhirnya Kino berhasil mengeluarkan kata-kata yang dia kenali artinya.

"Mencari minuman untuk pesta ulang tahun Ria," kata Tris sambil mulai kembali mengamati jajaran rak di depannya. Kino melangkah mendekat, berdiri di samping kereta belanjaan yang tampak penuh oleh makanan kecil dan permen coklat.

"Ulang tahun ke berapa?" tanya Kino, tak tahu musti bertanya apa lagi.

"Lima," jawab Tris, membuat otak Kino tiba-tiba berhitung cepat. Kalau Ria berusia lima, berapa usia bidadari ini sebagai ibunya? Mungkin 25, mungkin 30, mungkin 40 ... ah, tak mungkin 40. Tak mungkin juga 30.

"Mau beli apa?" tanya Tris.

"Tigapuluh ..," jawab Kino kembali gelagapan.

Tris menoleh dengan tolehannya yang mempesona itu, memandang Kino dengan matanya yang indah itu, dengan dahi berkernyit. Kino tiba-tiba sadar akan kelancangan mulutnya yang kembali memberontak dari otaknya itu.

Tris tertawa renyai, "Apa yang tigapuluh?" tanyanya masih dengan dahi berkernyit.

"Tigapuluh botol minuman," ucap Kino sekenanya, "Maksudku, aku sedang berpikir untuk membeli tigapuluh botol minuman..."

Tris menghentikan tawanya, Kino mengeluh dalam hati: duh, janganlah berhenti tertawa!

"Buat apa minuman sebanyak itu?" tanya Tris.

"Aku ...," Kino gelagapan lagi, "Aku tidak bermaksud membeli... Aku baru berpikir untuk membeli."

Dan Tris tertawa kecil lagi, dan Kino bersukacita lagi mendengar tawa kecil yang merdu itu, "Kamu terlalu banyak berpikir," kata Tris sambil mengambil beberapa botol minuman beraroma jeruk.

"Bisa aku bantu?" cepat-cepat Kino mengalihkan topik. Dia malu sekali.

Tris tersenyum. Dalam hati, ia berpikir pemuda di sampingnya ini sungguh lucu. Tetapi ia menarik juga. Wajahnya cakep dan air mukanya polos seperti bayi. Apalagi kalau sedang memerah karena malu. Terlebih lagi, pemuda ini kelihatannya baik, terutama karena berhasil menarik simpati Ria. Menurut pengalaman Tris, jarang pemuda bisa menarik simpati Ria yang bandel itu. Entah kenapa, pemuda ini lain.

"Boleh," jawab Tris, "Tolong ambilkan minuman yang di atas itu. Aku tidak bisa menjangkaunya."

Dengan sigap Kino memenuhi permintaan bidadarinya. Ia lebih jangkung dari Tris, yang cuma setinggi kupingnya. Hm,.. entah kenapa Kino langsung berpikir tentang bagaimana harus berjalan di sampingnya, dan bagaimana cara terbaik untuk memeluk bahunya. Astaga, memeluk bahunya? Sergah Kino dalam hati, darimana pikiran itu datang. Duh, kini otakku juga memberontak!

Begitulah akhirnya, Kino mengiringi Tris berbelanja memenuhi kereta dorongnya dengan berbagai keperluan pesta. Pemuda ini bersukur dalam hati. Bersyukur bahwa Ridwan dan Tigor punya kegiatan lain. Bahkan bersyukur Rima sakit flu... jahat sekali kamu Kino, sergah hati kecilnya. Terlebih-lebih, ia bersyukur pada kedua kakinya, yang dengan tanpa perintah telah membawanya ke pertemuan ini. Sebuah pertemuan ringan yang sangat berarti bagi Kino. Mengapa? Karena tiba-tiba Tris merasa haus.

"Aku mau minum es kelapa muda," ucap Tris ketika mereka sedang menunggu giliran membayar di kasir. Kino berdiri di belakang Tris, berdoa agar kasir bekerja selambat mungkin.

"Boleh aku ikut?" ucap Kino dengan keberanian yang menyebabkan lututnya agak sedikit lemas dan jantungnya berdegup keras. Bagaimana kalau ia menjawab "tidak"?

Tris tersenyum tanpa terlihat Kino. Dalam hati, ia mengagumi juga keberanian dan ketegasan pemuda yang tampaknya pemalu ini. Dalam hati pula ia bergumam, mungkin ada baiknya aku mengenal dia. Entah apa perlunya mengenal dia, tetapi entah apa perlunya pula menolak tawaran berteman. Pemuda ini tampaknya baik, pikir Tris, dan tentunya enak juga minum ditemani seseorang. Minimal ada yang mengangkat tas-tas plastik belanjaanku!

"Kamu suka kelapa muda?" jawab Tris tidak langsung meng-iya-kan permintaan Kino.

"Suka. Aku juga suka es alpokat. Atau es campur. Atau es dawet," sahut Kino dengan lancar. Apa pula maksudnya membuat daftar kesukaan seperti itu.

Tris tertawa kecil lagi dengan langgam dan lagu yang selalu mempesona Kino itu. Ah, hari terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi rasanya cepat sekali giliran membayar tiba, dan cepat sekali kasir itu bekerja menghitung belanjaan Tris, lalu belanjaan Kino. Mengapa mereka harus cepat-cepat seperti itu, sergah Kino dalam hati. Pemuda ini masih ingin berdiri lama-lama di belakang Tris, dekat sekali sampai ia bisa mencium keharuman parfumnya yang lembut. Dekat sekali sampai ia bisa melihat samar-samar tengkuknya yang putih mulus dan bahunya yang tak tertutup, melengkung indah bagai patung marmer hasil pahatan maestro Italia.

*****

Warung tempat mereka minum tidaklah terlalu besar dan terletak di lantai dasar mall. Ada sebuah meja dengan dua kursi di dekat jendela kaca besar lewat mana Kino bisa memandangi keramaian di luar. Tris meneguk es kelapa muda dalam gelas besar, dan Kino memilih minuman ringan dingin tanpa es karena alpukat tidak ada dan dawet terlalu mengenyangkan.

"Bagaimana kabarnya Ria?" tanya Kino dengan kesungguhan ingin mendengar cerita tentang anak kecil yang lucu itu. Ini memang bukan basa-basi. Kino memang menyukai anak perempuan itu, seperti ia juga menyukai ibunya. Ah, betapa ganjil rasanya seorang mahasiswa menyukai seorang ibu beranak satu!

"Baik-baik saja," jawab Tris sambil memainkan sendok, "Tetapi tambah nakal dan tambah banyak permintaanya. Kemarin dia minta dibelikan bebek, katanya untuk ditaruh di bak mandi."

Kino tertawa, membayangkan betapa nakal dan cerdasnya permintaan itu. Ketika anak-anak lain meminta mainan atau permen, Ria justru meminta bebek. Sebentar lagi anak itu pasti akan meminta kuda poni atau beruang.

Lalu Tris bercerita panjang lebar tentang anak itu, dan Kino dengan senang hati mendengarkannya. Mulai dari kebiasaan buruk Ria menggigit ujung bajunya, sampai kesukaan Ria pada telur mata sapi yang disiram kecap manis, sampai ke kamarnya yang tidak pernah rapi. Kino terpesona, menopang dagu di tangannya, memandang bidadari di hadapannya berkicau ramai dengan penuh semangat. Terutama, Kino terpesona melihat muka Tris yang selalu tampak bercahaya-cahaya. Lebih dari sekali pemuda ini tidak menyimak satu pun kalimat Tris karena terpaku pada wajahnya.

Setelah beberapa lama bercerita, Tris pun sadar bahwa Kino tidak terlalu menyimak. Ia juga tiba-tiba malu sendiri karena memborong pembicaraan. Tetapi yang lebih membuatnya berkesan adalah cara pemuda di hadapannya ini memandang dirinya. Tris tahu, dirinya adalah seorang wanita yang menarik. Hidup telah mengajarinya, sejak kecil, bahwa ia lahir dengan kecantikan yang mempesona. Orang-orang di sekelilingnya telah menunjukkan padanya kekaguman yang terkadang berlebihan. Maka kalau Kino terpesona, Tris tak terlalu heran. Yang membuatnya berkesan justru adalah cara pemuda ini menyatakan kekagumannya. Pemuda ini mengungkapkannya dengan halus, menyembunyikannya di balik kegugupan dan kecanggungannya, membuat Tris merasa lebih dihargai.

"Kenapa kamu memandang seperti itu?" ucap Tris tiba-tiba di tengah ceritanya. Ia sengaja ingin "menembak" pemuda ini, ingin melihat reaksinya. Kino pun memperlihatkan reaksi alamiahnya.

"Eh ... ya.., aku," jawab Kino tergagap, "Apa?"

Tris tertawa lepas, tidak saja dengan mengeluarkan suaranya yang renyai merdu itu, tetapi juga dengan matanya yang berbinar, dengan bibirnya yang basah, dengan rambutnya yang tergerai lepas, dengan bahunya yang berguncang-guncang mempesona. Kino benar-benar tak sanggup berkata-kata berhadapan dengan mahluk yang sejak lama memenuhi mimpinya ini.

"Kamu terlalu sering bengong. Apakah di kuliah mu ada pelajaran bengong?" ucap Tris setelah berhasil menghentikan tawanya. Kino menunduk, merasakan mukanya terbakar. Sialan, sergahnya dalam hati, bidadari ini ternyata nakal juga.

"Dan kamu juga memandang saya seperti memandang mahluk angkasa luar," sambung Tris lagi sambil menahan tawa melihat Kino mati kutu seperti itu.

Senang juga rasa hatinya menggoda pemuda cakep yang pemalu ini. Lagipula, ia diam-diam ingin menguji mental pemuda ini. Entah kenapa, banyak sekali yang ingin dilakukannya terhadap pemuda ini. Tris, bisik hati kecilnya, hati-hati lah dengan kesenanganmu. Tetapi kenapa musti hati-hati?

Kino akhirnya memberanikan diri memandang lurus ke mata Tris. Dia menghela nafas dalam-dalam, berharap agar jantungnya bisa berdetak lebih perlahan. Lalu ia menyusun kekuatan hati, sebelum akhirnya berucap pelan tetapi cukup jelas, "Kamu memang seperti bidadari."

"Apa?" kini giliran Tris yang terkejut. Pemuda ini punya keberanian juga rupanya!

Kino mengumpulkan lagi kekuatan hatinya, lalu berucap lebih keras, "Kamu seperti bidadari."

Tris menghentikan tawa dan senyumnya. Oh, bisiknya dalam hati, pemuda ini mengucapkan kalimat itu seperti sedang mengucapkan sumpah perkawinan. Pelan tetapi tegas. Lembut tetapi penuh kesungguhan. Nah, apa yang akan kau lakukan dengan pemuda ini, Tris! Sergah hati kecilnya. Kini sudah kau terima jawabannya, apa yang akan kau lakukan?

Kino kuatir melihat Tris tiba-tiba diam dan mengubah tidak saja sinar mukanya tetapi juga duduknya. Kini bidadari itu tidak lagi duduk santai, melainkan menegakkan tubuhnya dan mencurahkan perhatian ke minumannya.

"Maaf," buru-buru Kino berucap hampir tak terdengar. Ia kuatir bahwa ucapannya terlalu lancang. Ya, memang tidak lumrah mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang wanita yang sudah bersuami dan beranak satu, bukan?

Tris berdehem membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu ia tersenyum, merasa agak menyesal harus memulai permainan yang kini ternyata tidak begitu lucu itu. Ucapannya juga pelan nyaris tak terdengar, "Tidak apa-apa."

Lalu kecanggungan memenuhi mereka, dan Kino menyesal bersikap terlalu terus terang. Lihatlah apa yang kau lakukan Kino, kau merusak suasana dengan ucapan lancangmu itu. Hatinya penuh dengan makian-makian. Oh, pikir Kino risau, kini hatiku pun ikut berontak terhadap diriku.

Lalu minuman Tris habis tandas dan ia mengatakan sebaiknya ia pulang karena hari sudah mulai gelap. Kino tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki suasana. Dengan enggan ia bangkit, memaksa untuk membayar minuman tetapi gagal, karena Tris menolak dan menganjurkan untuk membayar sendiri-sendiri. Kino semakin risau dan menyimpulkan tindakan Tris itu sebagai reaksi atas kelancangannya.

Lalu mereka pun berpisah. Tris naik taksi dan bahkan tidak menawarkan kepada Kino untuk ikut serta. Pemuda ini semakin terpukul walaupun ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dengan terus menerus tersenyum. Pastilah senyuman itu tidak bagus sama sekali.

Tris melambai dari dalam taksinya. Dilihatnya Kino berdiri di trotoar memandang terus ke taksinya sampai taksi itu hilang di tikungan. Hmm, pikir Tris dalam hati, pemuda itu pasti menyangka aku marah. Sebuah senyum manis terkembang di bibirnya. Mungkin ada baiknya ia membiarkan pemuda itu berpikiran bahwa dirinya marah. Tris ingin tahu, apa yang akan dikerjakannya. Ah, kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu sadis, suka mempermainkan perasaan orang.

"Mau kemana, non?" tiba-tiba ucapan supir taksi membuyarkan lamunan Tris. Astaga, taksi ini berjalan keluar dari pelataran parkir mall, tetapi tidak tahu hendak kemana. Tentu saja, Tris belum menyebutkan alamatnya. Maka buru-buru ia mengucapkan tujuan dan berbisik dalam hati, hei ... ternyata kamu sendiri juga terpikat pada pemuda itu. Sialan, sergah Tris dalam hati, kesimpulan itu terlalu cepat.

Tetapi, hmmm .. bagaimana kalau kesimpulan itu benar?

**********

Malam itu Kino tidak bisa tidur sampai menjelang fajar. Ketika akhirnya ia tertidur, mimpinya pun menggelisahkan. Ia bermimpi didatangi seorang lelaki yang mengaku adalah suami Tris. Lelaki itu memperingatkan Kino agar jangan sekali lagi mendekati istrinya. Lebih celaka lagi, lelaki itu datang bersama Ria yang ikut-ikutan memarahinya. Anak kecil itu mengatakan bahwa ibunya tidak suka kepada Kino.

Kino terbangun dengan tubuh penuh keringat. Kepalanya juga terasa sangat berat karena tidurnya tidak cukup. Ia bangkit hendak menuju kamar mandi karena harus kuliah. Tetapi keinginan tersebut dibatalkannya. Ia kembali ke dipan dan meringkuk meneruskan tidurnya. Biarlah ia membolos sekali ini, besok akan meminjam saja catatan Tigor atau Ridwan.

Tengah hari baru ia terbangun dengan perut lapar. Ibu kost tampak kuatir melihat Kino keluar dari kamarnya dengan wajah kusut masai. Ibu itu bertanya apakah Kino sakit, dan pemuda itu menjawab bahwa ia cuma kurang tidur.

"Tetapi wajahmu seperti mayat hidup," ucap ibu kost yang baik hati itu.

"Mungkin karena saya lapar saja, bu," jawab Kino, membuat wanita tua itu langsung sibuk menyiapkan meja dan menuju dapur. Kino merasa tidak enak dibuatnya. Ibu ini terlalu baik.

"Biarlah, bu. Saya bisa mengambil sendiri," ucapnya sambil menyusul ke dapur.

********

Sehabis makan siang, Kino memutuskan untuk membaca saja di kamar. Tetapi ketika ia sedang membersihkan dan membereskan tempat tidurnya, terdengar ketukan pelan di pintu. Kino yang sedang membelakangi pintu menyangka itu ibu kost, maka ia berucap tanpa menoleh, "Sayur lodehnya enak sekali, bu."

"Ini Indi, kak!" suara gadis itu terdengar nyaring bagai petir di siang bolong.

Kino hampir terlompat, membalikkan tubuhnya. Indi berdiri di ambang pintu, membentuk siluet berlatar belakang terik siang di luar sana. Kino memicingkan matanya, seakan ingin memastikan bahwa itu memang Indi.

"Kata Ibu kost, Kak Kino tidak kuliah dan ada di kamar," ucap Indi masih berdiri di ambang pintu, "Maaf kalau Indi mengganggu.." (tentu saja, ini bukan Indi yang biasanya. Sejak "peristiwa lompat jendela" beberapa waktu yang lalu, Indi tidak lagi centil dan bahkan terlalu sopan).

"Eh, Indi!" ucap Kino dengan rasa kaget yang orisinal, tidak dibuat-buat, "Tumben ke sini. Ayo masuk."

Dengan canggung Indi melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah buku dan sebuah pena. Pasti PR matematika, pikir Kino. Dan betul saja.

"Boleh tanya soal matematik, Kak?" ucap Indi dengan suara ragu-ragu, tidak dengan manja seperti biasanya. Ah, Kino sebenarnya ingin Indi kembali seperti semula. Tidak wajar rasanya mendengar suara Indi yang serba formal itu.

Kino tersenyum semanis mungkin dengan harap dapat mencairkan suasana. Lalu ia melangkah mendekat, meraih tangan Indi dan menuntunnya ke meja belajar dekat jendela. Indi menurut saja dan duduk sopan di bangku yang tersedia. Kino permisi sebentar keluar untuk mengambil kursi lain. Ketika pemuda ini kembali, Indi masih duduk diam-diam. Biasanya, gadis ini sudah bergulingan di dipannya!

Lalu Kino dengan sabar menuntun Indi menjawab 20 soal matematika di buku PR-nya. Tidak seperti biasanya, soal-soal ini memang benar sulit. Artinya, Indi memang benar-benar memerlukan bantuan, bukan sekedar mengganggunya. Dalam hati Kino tersenyum, merasa senang bahwa akhirnya hubungan mereka membaik kembali.

"Boleh Indi tanya sesuatu, kak?" kata Indi ketika soal terakhir sudah selesai. Buku PR sudah ditutup.

"Boleh," jawab Kino pendek sambil membersihkan bekas-bekas rautan pensil yang tadi dipakainya untuk mencoret-coret jawaban.

"Kenapa waktu itu Kak Kino marah?" tanya Indi dengan suara pelan. Terlalu pelan untuk gadis yang biasanya centil itu.

Kino terdiam. Sungguh ia tidak berharap Indi bertanya tentang soal yang satu itu. Ia sendiri sampai sekarang belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Tetapi Kino juga lega karena akhirnya ia punya kesempatan untuk mendiskusikan hal ini dengan Indi.

"Aku juga tidak tahu, Indi," jawab Kino akhirnya, terus terang dan apa adanya.

Indi mengangkat mukanya, menggigit bibirnya yang ranum seperti sedang berusaha menahan sesuatu. Matanya yang sebenarnya memang indah itu tampak agak basah. Ah, jangan itu lagi Indi. Jangan menangis lagi. Sergah Kino dalam hati.

"Aku sudah minta maaf, bukan?" ucap Kino buru-buru.

"Indi juga minta maaf," ucap gadis itu pelan, lalu menunduk memainkan ujung baju seragamnya. Kino tak tega juga rasanya melihat Indi menjadi murung begitu. Maka dengan lembut disentuhnya bahu Indi.

"Sudahlah, Indi. Kita lupakan saja peristiwa itu. Sekarang Indi bisa ke sini lagi seperti biasanya, dan kita bisa berteman lagi" kata Kino.

"Tetapi Indi tidak bisa melupakan peristiwa itu," jawab gadis itu.

Kino menghela nafas panjang, "Baiklah. Tetapi jangan sampai membuat kamu berubah seperti ini"

"Seperti apa?" tanya Indi, matanya masih berkaca-kaca.

"Seperti ini," ucap Kino sambil mengembangkan tangannya, "Terlalu dibuat-buat, terlalu formal. Tidak seperti biasanya."

"Kak Kino ingin Indi seperti apa?"

Ups! Kino tiba-tiba sadar bahwa gadis ini sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Terlebih lagi, pertanyaan terakhir ini ternyata sulit: seperti apa Kino ingin Indi bersikap?

"Kembali seperti biasa, lah," jawab Kino sekenanya sambil berpikir keras untuk menyiapkan jawaban berikut, karena ia tahu Indi bukan gadis yang gampang menyerah.

"Seperti dulu lagi?" tanya Indi.

"Iya. Seperti dulu lagi ...," ucapan Kino tak selesai, mengambang di tengah-tengah.

"Manja dan nakal?" tanya Indi. Wajah gadis ini menunjukkan kesungguhan. Mati aku, sergah Kino dalam hati. Gadis ini ternyata sama seriusnya dengan hakim di pengadilan yang sedang menanyai terdakwa.

"Iya... ya. Begitulah," kata Kino cepat-cepat. Ia bangkit hendak membuang bekas rautan pensil, dan melakukannya dengan seperlahan mungkin agar bisa selama mungkin menjauh dari Indi yang masih duduk tegak di kursi.

"Tetapi Indi dulu suka sekali kepada Kak Kino. Apakah masih boleh begitu?" tanya Indi lagi. Ah, ini pertanyaan yang amat sulit buat Kino.

"Boleh saja," sahut Kino sambil pura-pura membereskan buku-buku di rak dinding dekat pintu keluar.

"Boleh minta dicium lagi, misalnya?" tanya Indi pelan, tetapi benar-benar terasa seperti dinamit meledak dekat telinga Kino.

Kino terpaku di tempatnya berdiri. Keduanya saling memunggungi. Kino berpikir keras untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa melihat Indi tersenyum kecil walau matanya masih basah. Gadis ini merasa "menang angin".

Setelah sekitar dua menit, akhirnya Kino berbalik, berjalan mendekat ke meja dan menghenyakkan tubuhnya di kursi. Indi mengangkat muka, memandang dengan matanya yang menusuk tajam ke hati Kino. Nah, begitulah akibatnya kalau menganggap enteng anak SMA, pikir Kino penuh penyesalan.

"Kak Kino tidak ingin Indi seperti dulu lagi, bukan? Tidak ingin Indi menyukai Kak Kino dan minta dicium. Tak ingin Indi masuk kamar seenaknya lalu tidur di kasur Kak Kino," ucap gadis itu dengan lancar.

Kino terpana. Ya. Memang itulah yang diinginkannya. Kenapa ia tidak berani mengucapkannya. Karena kau tak ingin Indi berhenti manja kepadamu! Sergah hati kecilnya.

"Kak Kino tidak suka sama Indi, bukan?" tanya gadis itu lagi melihat Kino diam saja.

Kino menghela nafas panjang, menghembuskannya keras-keras, lalu ia menggeleng-geleng dengan kuat. "Tidak," katanya, "Kakak suka sama Indi, tetapi juga takut kalau rasa suka itu berubah menjadi peristiwa seperti malam itu."

"Kenapa takut?" tanya Indi.

"Karena kamu bisa hamil!" sergah Kino, lega bisa berucap terus terang.

"Tetapi kita tidak melakukan hubungan kelamin," Indi bersikeras.

"Tetapi kamu membuka celana," sahut Kino cepat.

"Tetapi semua anak laki selalu ingin membuka celana Indi," sahut Indi tak kalah cepat.

"Ya ampun, Indi!" Kino menepuk dahinya sendiri, "Berapa, sih, anak laki-laki yang pernah ingin membuka celanamu?"

"Hmmm ...," Indi memejamkan matanya seperti berpikir keras, tiba-tiba ia sudah berubah menjadi centil lagi. Astaga, gadis ini cepat sekali berubah, sergah Kino dalam hati. Dan kemana sebeetulnya arah pembicaraan ini?

"Delapan!" ucap Indi sambil membuka matanya. Kino tersentak. Gila, dia sudah punya delapan mantan pacar!

"Kenapa kamu ungkapkan semua ini, Indi," ucap Kino lirih, "Apa yang ingin kamu diskusikan? Seks?"

Indi mengangguk. Kino terpana lagi. Celaka, kenapa aku harus punya tetangga centil dan cerdas seperti ini, keluhnya dalam hati.

"Indi ingin tahu, kenapa Kak Kino tidak meneruskan tindakan malam itu setelah tahu Indi sudah tidak bercelana dalam," ujar gadis itu lancar, seakan-akan sedang bertanya tentang kenapa rumput warnanya hijau, atau kenapa ular tidak berkaki.

"Karena ...," Kino berhenti berucap. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Kenapa Kak Kino tidak meraba-raba Indi di bagian itu, padahal Indi tak keberatan," potong Indi melihat Kino tak melanjutkan ucapannya.

"Karena ...," Kino berhenti lagi. Ia betul-betul kehabisan kata-kata. Indi membawa persoalan yang jauh lebih sulit dari matematika tersulit yang pernah dipecahkannya.

"Apakah karena Kak Kino tidak pernah melakukannya? Maksud Indi, tidak pernah meraba-raba di bagian sana?"

"Aku pernah!" sergah Kino. Tetapi cuma itu yang bisa dikatakannya.

"Dengan siapa?" Indi mendesak dan tampak tenang-tenang saja. Bahkan kini duduknya pun tidak lagi tegak, melainkan sudah lebih santai.

"Dengan pacarku, tentunya!" sergah Kino lagi, "Tetapi sekarang sudah putus ...," sambungnya cepat. Ah, betulkah ia sudah putus dengan Alma ..

"Pacar Kak Kino senang diraba-raba di bagian itu?"

Kino bangkit tergesa-gesa, kursinya sampai terguling berkelontangan. Indi tersenyum melihat pemuda ini gelisah oleh pertanyaan-pertanyaannya. Dan Kino pun sadar Indi sedang menghukumnya, sedang membalas perlakuannya malam itu. Kini Kino sadar, apa yang dimaksud dengan "tak bisa melupakan" di kalimat Indi sebelumnya.

"Aku tak mau menjawab pertanyaanmu lagi!" sergah Kino akhirnya sambil mengembalikan kursi ke posisi semula.

Dari nada suaranya, Indi tahu Kino tidak marah. Ucapan itu lebih berupa pernyataan menyerah daripada marah.

"Jadi, Kak Kino tidak mau lagi mencium Indi, atau meraba-raba Indi, bukan?" ucap gadis itu sambil bangkit perlahan dan mendorong kursinya dengan rapi. Didekapnya buku PR matematika di dadanya, lalu ia memutar tubuh menuju pintu keluar.

Kino terpaku di tempatnya berdiri, memandang Indi perlahan-lahan meninggalkan kamar. Ah, rasanya ada yang belum selesai dalam diskusi ini, tetapi apa? Ucap Kino dalam hati. Terburu-buru, ia menahan Indi pergi, "Jangan pulang dulu," katanya.

Indi berbalik di ambang pintu, kembali membentuk siluet dengan latar belakang terik siang di luar sana. Kino mendekat, meraih tangan gadis itu, dan menariknya kembali ke dalam. Lalu, dengan tanpa rencana sama sekali, gadis itu sudah ada dalam pelukannya. Tanpa rencana pula, bibir gadis itu telah diciumnya. Dilumatnya dengan gemas. Tanpa rencana sama sekali, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan suara berdebam.

"Kak Kino..," desah Indi ketika pemuda itu merenggangkan ciumannya, tetapi segera gadis itu terdiam lagi karena Kino kembali melumat bibirnya yang ranum membasah.

Tangan gadis itu tahu-tahu sudah memeluk leher Kino. Buku dan bolpennya jatuh berserakan di lantai. Matanya yang tadi basah kini terpejam. Indi merasa tubuhnya seperti segumpal kapas ringan yang terbawa angin terbang tinggi. Sebersit rasa nikmat yang telah lama dikenalnya kini muncul lagi di dalam tubuhnya. Ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Kino dengan liar bermain-main di dalamnya. Ia membalas setiap pagutan pemuda itu, membiarkan tubuh keduanya pelan-pelan terbakar birahi.

Kino pun tak tahu apa yang terjadi dengannya. Begitu cepat segalanya berlangsung. Tahu-tahu tangannya sudah berada di balik beha Indi, di balik baju seragamnya yang kini sudah terbuka setengahnya. Nikmat sekali rasanya memegang daging kenyal yang membukit itu. Telapak tangannya terasa geli menyentuh putting Indi yang segera tegak tegang. Dengan gemas Kino meremas, membuat Indi mengerang pelan. Kino meremas lagi lebih keras. Indi mengerang lagi, kini disertai desah gelisah dan nafas yang semakin memburu.

Perlahan-lahan, dengan terhuyung-huyung, keduanya bagai sepakat melangkah ke arah ranjang. Tak lama kemudian, keduanya sudah bergulingan di dipan yang belum lagi sempat dirapikan itu. Kino menindih tubuh Indi sambil terus melumat bibirnya. Terus terang, bibir Indi sangat menggairahkan untuk dilumat dikulum. Ranum dan basah bagai mangga muda yang siap dirujak. Nafasnya harum memenuhi hidung Kino, membuat pemuda ini semakin mabuk kepayang. Tangannya masih pula bermain-main di dada Indi yang kini sudah terpampang terbuka, menjulang indah bergerak turun naik seirama nafasnya yang memburu. Dengan telunjuk dan jempolnya, Kino menjepit putting Indi, memilin-milinnya perlahan tetapi juga gemas.

Indi melepaskan mulutnya dari pagutan Kino karena ia ingin mengerang merasakan rasa geli yang nikmat bercampur sedikit perih datang dari puncak payudaranya, "Ngggg ... aaah!"

Kino menciumi leher gadis itu, yang selalu harum sabun wangi bercampur kelembutan bayi. Perlahan digigitnya sedikit leher jenjang itu. Indi menggelinjang. Kino menggigit lagi lebih keras. Indi mengerang, berusaha menjauhi lehernya dari gigitan Kino, tetapi tidak sungguh-sungguh berusaha. Gadis itu menggelinjang lagi, merasakan dadanya diremas-remas oleh tangan Kino yang kini seperti menyebarkan bara hangat ke seluruh tubuhnya.

Tangan Indi kini merasuki rambut Kino yang mulai gondrong, lalu pelan-pelan dara itu mendorong kepala Kino ke bawah. Setengah memaksa, setengah meminta, Indi terus mendorong hingga akhirnya mulut Kino tiba di lembah payudaranya. Oh, terasa hangat nafas Kino memenuhi dada Indi. Oh, terasa semakin geli gatal puncak-puncak payudaranya, menunggu mulut yang nakal dan basah itu. Indi pun mengerang lagi, bahkan kemudian berbisik, "Ayo, Kak ... gigit lagi...."

Dan Kino pun menggigit, menyebabkan Indi menggeliat sambil mendesis menyatakan rasa nikmatnya. Lalu Kino mengangkat kepalanya, menciumi puncak payudara Indi, terutama di pangkal putingnya. Indi menggeliat lebih hebat lagi, merasakan betapa kegelian itu bagai berpusing-pusing di puncak payudaranya. Bagai angin putting beliung yang menderu-deru memenuhi dadanya. Apalagi kemudian Kino mengeluarkan lidahnya, menjilati pangkal putting dan daerah lingkaran berwarna coklat tua itu. Oh, Indi merasa dirinya dilambungkan ke langit luas. Apalagi lalu lidah itu naik ke puncak putingnya, .... Oh! ... Indi menggeliat kuat, menyorongkan dadanya, sehingga mau tak mau Kino menerima putting itu di dalam mulutnya. Kino langsung menyedot kuat .... Dan Indi merasa tubuhnya seperti meledak oleh kegelian-kegatalan.

"Oooooooh! ... terus Kak," Indi mengerang mendesah, "Terus, Kak.... Ooooh!"

Lalu Indi merasakan kenikmatan yang amat kuat seperti mendesak keluar dari dadanya, turun ke bawah menuju perutnya, terus ke bawah memenuhi pinggulnya, sebelum akhirnya bermuara di antara dua pahanya yang kini bergetar. Dengan tak sadar, Indi merenggangkan kakinya, lalu memeluk pinggang Kino dengan kakinya, menarik bagian bawah tubuh pemuda itu semakin rapat ke tubuhnya. Roknya sudah tersingkap tak karuan, menampakkan kedua pahanya yang mulus dan ditumbuhi rambut-rambut halus yang nyaris tak terlihat.

Kino merasakan pinggulnya bagai dijepit kepiting raksasa. Perutnya terasa hangat menempel di perut Indi yang terbuka. Celana jeans-nya terasa sangat sempit, terutama di bagian depan. Sejak mencium tadi, kejantanan Kino telah tegak-tegang dengan sendirinya. Kini kejantanan itu terjepit di antara lembah hangat yang tertutup nilon tipis. Nyaman sekali rasanya. Geli dan gatal pula. Kino pun mengerang.

Sambil terus menghisap-menyedot tonjolan kenyal di dada Indi, pemuda ini pun menggerakkan pinggulnya berputar-putar. Bagi Kino rasanya memang tidak begitu leluasa, mengingat jeans yang dikenakannya terlalu tebal. Tetapi bagi Indi, gesekan jeans yang menyembunyikan tonjolan keras hangat itu sangatlah menimbulkan gairah. Indi merasakan selangkangannya mulai basah dan ada rasa gatal yang minta digaruk di bawah sana. Ia pun mengeratkan jepitan kedua pahanya, menekan Kino lebih lekat lagi terhenyak ketubuhnya.

Indi merasakan geli-gatal itu kini bercampur rasa ingin buang air kecil, penuh desakan-desakan yang menggelisahkan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, tersengal-sengal bernafas karena dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup makin kencang. Seluruh tubuhnya meregang setiap kali Kino menggerakkan pinggulnya dan rasa geli-gatal itu kini menyebar keseluruh tubuhnya. Sebentuk desakan amat kuat terasa di bagian dalam kewanitaannya, yang kini seperti diremas-remas oleh tonjolan di celana jeans Kino itu. Indi mengerang keras sambil meregangkan kedua pahanya lebar-lebar, menyebabkan pemuda itu lebih leluasa bergerak.

Kino bergerak makin keras dan kasar. Tidak saja berputar-putar, tetapi juga mendorong mendesak ke depan, menyebabkan pantat Indi semakin terbenam di kasur. Gadis ini meregangkan kedua kakinya selebar mungkin. Satu tangannya mengait lututnya sendiri, sementara tangan yang lain mencekram rambut Kino. Tubuhnya melenting ketika ia tak kuasa lagi menahan desakan yang tampak bagai ingin menjebol pinggulnya itu. Ia menyerah, membiarkan sebuah aliran hangat seperti menyebar cepat di dalam kewanitaannya, dibarengi rasa nikmat yang luar biasa.

"Aaaaah...... Kak Kino....... Ooooooooh!" Indi mengerang keras, "Aaaaaah!"

Tubuh gadis ini lalu berguncang hebat, mula-mula hanya di pinggulnya, tetapi lalu juga di seluruh tubuhnya. Kino ikut terguncang tetapi ia tetap berusaha berada di atas tubuh gadis itu. Indi mengerang, mengeluh, mendesah, mendesis panjang. Tubuhnya bagai dipenuhi per yang membuatnya melenting melambung di atas kasur. Dipan pun berderit ramai membuat Kino kuatir terdengar ibu kost.

Lalu gadis itu terkulai lemas, seakan kehilangan seluruh tulang di tubuhnya. Matanya masih terpejam dan seluruh wajahnya berona merah seperti kepiting rebus. Mulutnya sedikit terbuka, menghamburkan nafas yang masih memburu. Dadanya yang telanjang tampak agak berkeringat, turun naik dengan cepatnya. Sungguh seksi pemandangan ini bagi Kino, yang masih menempel erat di tubuh dara itu, dengan kedua tangan mencekal serta menekan pergelangan Indi di kasur. Seperti seorang polisi yang menerkam dan menahan penjahat agar tidak berontak kabur.

Lalu nafas Indi mereda, dan ia membuka matanya, memandang Kino yang sedang termangu memandang wajah gadis itu. Manis sekali Indi dalam keadaan seperti ini. Rambutnya yang legam bagai membingkai wajahnya yang oval. Bulu matanya lentik, dan ada lesung pipit kecil di pipinya. Pelan-pelan senyum Indi mengembang.

"Berisik sekali kamu," kata Kino sambil tersenyum pula.

"Sorry! Indi lupa diri..." bisik Indi manja. Ia sudah kembali seperti semula: centil dan penuh senyum manja menggoda. Kino pun sadar, gadis ini punya daya tarik yang tak bisa dianggap remeh.

Entah kenapa, birahi Kino sirna secepat datangnya. Melihat wajah manis manja di depannya, melihat tingkahnya yang terbuka dan tulus, Kino tiba-tiba merasa tak patut melanjutkan permainan berbahaya ini. Tetapi setidaknya ia berhenti pada saat yang tepat, tidak seperti sebelumnya saat Indi justru sedang mendaki puncak asmara.

Indi melepaskan diri dari cengkraman tangan Kino yang memang juga membiarkannya lepas. Lalu gadis itu mengembangkan tangannya, mengundang Kino ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan erat, Indi memejamkan mata sambil tersenyum puas. Kino merasakan kedua bukit kenyal Indi terhenyak di dadanya, menimbulkan kesan indah tersendiri yang tidak cuma berisi birahi tetapi juga kelembutan.

"Indi suka sekali sama Kak Kino," bisik gadis itu.

"Tetapi kita tak bisa begini terus, Indi," jawab Kino pelan sambil mengusap sayang rambut gadis di pelukannya itu. Terasa oleh Kino gadis itu mengangguk.

"Kamu mengerti, bukan?" ucap Kino lagi sambil berdoa semoga tidak ada diksusi lanjutan di atas tempat tidur dalam keadaan seperti ini.

"Mengerti boss!" kata Indi jenaka. Ah, ia telah kembali ke formatnya semula, pikir Kino gembira. Indi yang dulu telah kembali seperti sediakala. Kini persoalannya ada pada Kino kembali: apakah ia sanggup bersikap tegas terhadap gadis ini. Apakah aku bisa dengan tegas menyatakan pendirianku di depannya, tanya Kino gelisah dalam hati.

"Sebaiknya sekarang kamu pulang," ucap Kino sambil melepaskan pelukannya. Indi pun melepaskan diri dan dengan tenang mengenakan kembali beha dan mengancing baju seragamnya.

"Apakah Indi masih boleh ke mari lagi?" tanya gadis itu sambil merapikan rambut dengan jemarinya.

Kino tersenyum lalu mencubit pipi Indi yang masih agak merona merah. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi mengangguk pelan dan samar.

"Indi mendapat PR matematika setiap hari, lho!" ucap gadis itu dengan mata yang dilebarkan.

"Boleh. Tetapi kita kerjakan di meja makan, di ruang tengah," jawab Kino kalem.

"Bagaimana kalau PR itu harus dikerjakan hari Sabtu?" kata Indi sambil bangkit dan merapikan roknya.

"Kenapa memangnya?"

"Boleh mengerjakannya malam-malam di kamar Kak Kino?"

Sialan, sergah Kino dalam hati. Tentu saja, itu adalah malam minggu! Kino bangkit dan mendorong bahu gadis Indi, menyuruhnya keluar sambil tersenyum menyadari betapa ia kalah cerdik oleh gadis itu dalam soal-soal yang seperti ini.

"Boleh atau tidak?" desak gadis itu di ambang pintu yang sudah dibuka Kino lebar-lebar.

"Tidak," jawab Kino pendek sambil menatap kedua mata Indi yang juga sedang lekat memandangnya.

"Benar-benar tidak boleh?"

Kino menggeleng. "Benar-benar tidak boleh," katanya sambil mendorong lagi Indi agar melangkah keluar. Mereka lalu berjalan beriringan keluar. Kino mengantar sampai pagar lalu berbalik tanpa menjawab lambaian tangan Indi, tanpa mempedulikan pula cibiran gadis itu. Tiba-tiba ia merasa mengantuk sekali. Merasa letih sekali. Kejadian-kejadian dua hari ini membuat Kino merasa tak berdaya. Ia ingin segera tidur kembali.

Dalam Gelap Malami

Sudah seminggu ini Tris tidak berjumpa Kino. Siang tadi ia berniat mengontak Kino di kampusnya, berniat masuk kampus dan mencarinya saat istirahat siang. Tetapi niat tersebut diurungkan. Bukan saja karena Ria perlu dijemput, tetapi juga karena ia sendiri merasa sungkan untuk masuk kampus mencari pemuda itu. Apa kata orang nanti?

Kini, ketika matanya tak juga mampu terpejam tidur, ia menyesal kenapa tak memberanikan diri masuk kampus. Menyesal karena tadi pagi terburu-buru mengantar Ria sekolah lewat jalan lain, sehingga tidak bisa bertemu Kino. Menyesal karena merasa dirinya terlalu ragu-ragu bertindak.

Tris menggeletakkan tubuhnya setelah bosan tidur miring. Kamar tidur sudah gelap, karena Ria tak mau kalau terlalu terang. Ah, tiba-tiba darah Tris berdesir karena rasanya ia masih bisa mencium bau tubuh pemuda itu. Bau yang kini mulai diakrabinya: segar dan penuh aroma kejantanan. Tidak seperti tubuh suaminya yang terlalu penuh minyak wangi sehingga berkesan sintetis.

Ah, kini aku mulai membanding-bandingkan pemuda itu dengan suamiku, keluh Tris dalam hati.

Tris masih ingat betapa pemuda itu mengulum bibirnya dengan luapan perasaan yang apa adanya. Betapa menggairahkannya ciuman itu! Kino melakukannya dengan sepenuh hati, sehingga rasanya tidak setengah-setengah. Ketika pemuda itu mengulum bibirnya, ia melakukannya dengan penuh perasaan, membuat dirinya terbuai-buai bagai tidur di atas awan di angkasa sana. Tak sadar Tris meraba bibirnya dengan ujung jari. Ia dengan mudah bisa merasakan kembali ciuman itu. Tak mungkin ia bisa melupakannya.

Tak pula ia bisa melupakan betapa dadanya yang kenyal diremas oleh tangan pemuda itu. Oh, itulah remasan yang tak kalah menggairahkan dari ciumannya. Jemari pemuda itu seperti penuh oleh energi pembakar sukma yang mengirimkan jutaan bulir kenikmatan ke seluruh tubuhnya. Tak sadar, Tris mengerang kecil, meremas seprai dengan kedua tangannya. Ia seperti merasakan lagi remasan jemari itu di dadanya. Gesekan nilon tipis pakaian tidurnya tiba-tiba seperti mewakili remasan itu. Ia tidur tanpa beha. Oh, kedua putingnya ternyata sudah mengeras. Kenapa jadi begini? Keluh Tris sambil mengerang lagi, lalu memiringkan badannya, meraih bantal guling.

"Kino," bisiknya perlahan sambil menelungkupkan muka ke bantal, "Apa yang telah kau lakukan kepadaku?"

Tak lebih 5 kilometer jauhnya dari kamar tidur Tris, pemuda itu juga sedang terlentang di dipan di kamar kostnya dengan mata nanar memandang langit-langit. Kino juga tidak bisa tidur malam ini, walau separuh buku pelajaran paling sulit telah habis dibacanya. Entah kenapa, malam ini ia begitu merindukan Tris. Mungkin karena telah seminggu ini mereka tidak berjumpa sehabis malam yang menegangkan di lembah kebun teh itu.

Di depan mata Kino seakan-akan ada sebuah film yang diputar berulang-ulang, berisi gambar indah percumbuan mereka yang sangat singkat tetapi sangat menggairahkan itu. Bibir basah yang merekah pasrah itu, tergambar jelas di mata Kino. Harum nafasnya yang menggairahkan itu, tercium jelas di hidung Kino. Kelembutan lidah dan bagian dalam mulut itu ... hmm, semuanya terasa seperti nyata malam ini. Amat sangat nyata, sampai-sampai Kino menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu itu ia melumat bibir bidadari yang amat didambakannya. Sedang apa dia sekarang? Apakah sedang dicumbu oleh suaminya? Pikiran terakhir ini sangat mengganggu Kino, membuatnya terbakar cemburu selain birahi. Sungguh menggelisahkan!

Udara dingin menyebabkan Kino menyelimuti badannya, tetapi sentuhan selimut di atas kejantanannya yang hanya tersaput celana dalam dan sarung tipis ternyata berdampak lain. Kenangan erotis tentang Tris membuat dirinya terbakar birahi. Perlahan tapi pasti, kejantanan Kino menegang. Semakin lama, semakin tegang, berdenyut penuh gairah.

"Tris," bisik Kino, "Sedang apa kamu di sana?"

Angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela kamar tidur Tris. Ia menelentang kembali, kini dengan mata terbelalak sepenuhnya. Kamar tidur yang senyap itu sebenarnya dingin sekali. Tetapi tubuh Tris seperti dibakar api, dan ia terkejut sendiri ketika tak sengaja tangannya menyentuh selangkangannya. Celana dalamnya agak basah, dan sebuah rasa geli yang telah lama ia tak rasakan ternyata muncul di sana. Oh, aku begitu terangsang malam ini, desah Tris panik di dalam hati.

Cepat-cepat ia memindahkan tangannya, tetapi tangan itu jatuh di atas dadanya. Untuk sejenak, ia mencoba mengatur nafasnya yang mulai terengah, tetapi tanpa diperintah tangan itu ternyata mulai meraba-raba. Tris menggelinjang. Tris mendesah gelisah. Rasa geli menyelimuti puncak-puncak dadanya. Rasa geli yang minta digaruk. Maka menggaruklah jemari-jemarinya, mengusap dan membelai pula. Dua tangan kini ada di dadanya, dua-duanya meremas, mengusap, menggaruk, membelai...

Tris mendesahkan nama pemuda itu berkali-kali dengan bisikan tertahan; kuatir Ria terbangun.

Kino meraba-raba kejantanannya. Mengerang pelan karena merasakan tubuhnya mulai bereaksi seperti biasanya, menyebabkan semua ototnya terasa menegang, bagai seorang pelari yang sedang bersiap-siap melesat dari garis start. Kejantanannya sudah menegang setegang-tegangnya. Bergetar seirama degup jantungnya yang tak teratur. Naik turun seirama nafasnya yang mulai memburu.

Mula-mula, Kino hanya mengusap-usap di atas sarungnya. Mengelus-elus perlahan, menimbulkan rasa geli yang samar-sama, seakan-akan untuk memastikan bahwa segalanya berjalan perlahan menuju tempat tujuan. Tetapi, sebentar kemudian gerakan tangannya semakin cepat, bukan lagi mengusap tetapi menguyak-uyak. Nafasnya semakin memburu. Rasa geli yang nikmat tersebar sepanjang kejantanannya yang terasa bagai batang besi panas membara.

Tris tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dadanya sendiri, ia mengusap-usap kewanitaanya dengan tangan yang lain. Celana nilon tipis masih ada di sana, tetapi tentu saja tak mampu mencegah rasa nikmat yang datang dari telapak tangannya. Apalagi kemudian Tris menelusupkan tangan itu ke balik celana, menemukan lembah sempit di bawah sana telah basah oleh cairan cinta. Menemukan pula tonjolan kecil di bagian atas telah menyeruak keluar dari persembunyiannya, menonjol diam-diam menanti sentuhan jarinya.

Tris menggigir bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik, ketika ujung telunjuknya tak sengaja menyentuh tonjolan kenikmatan itu. Sebuah desah cukup keras menghambur keluar dari mulutnya. Untung Ria sudah terlelap sehingga mungkin tak akan terbangun walau Tris berteriak sekali pun.

Kino tak tahan lagi. Tangannya menyerbu masuk ke balik sarung, meremas batang tegang yang membara di bawah sana, yang masih terbungkus celana dalam katun. Segera ia merasakan pinggulnya bagai berubah menjadi kaldera gunung berapi yang penuh lahar menggelegak. Setiap kali ia meremas, setiap kali pula gelegak itu bagai hendak meluap keluar. Setiap kali pula ia mengerang dengan otot leher menegang seperti seorang yang sedang menahan sesuatu dengan susah payah.

Remasan tangan Kino semakin lama semakin teratur, diikuti gerakan naik turun seperti memeras. Setiap kali gerakan itu sampai ke ujung yang membengkak-membola itu, Kino merasakan tubuhnya seperti disedot ke dalam pusaran air birahi. Ia menggeliat-geliat keenakan. Kedua kakinya merentang tegang, dengan tumit tenggelam dalam-dalam di kasur. Kino mengerang.

Tris mengerang tanpa berusaha menahan suaranya. Ia sudah tak peduli lagi. Kedua pahanya terpentang lebar dan jari tengahnya melesak menerobos di antara lembah bibir-bibir kewanitaannya. Jari itu meluncur teratur, ....turun sampai melesak sedikit memasuki liang surgawi yang berdenyut-denyut, .... lalu naik menyusuri lembah licin yang hangat dan basah itu, ... lalu terus naik ke atas lepitan kewanitaannya, tiba di tonjolan yang kini memerah itu,... berputar-putar di sana dua-tiga kali .....

"Aaaah," erangan Tris semakin jelas. Kalau ada orang berdiri di balik pintu dan menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.

Tangan Tris bergerak semakin cepat, sementara tangan yang satunya juga terus meremas-remas payudaranya dengan gemas. Tubuh Tris berguncang-guncang oleh gerakannya sendiri. Ria menggumam pelan, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh. Tris sudah tak lagi mempedulikannya. Ia sedang dalam perjalanan yang tak mungkin dihentikannya lagi. Ia harus sampai ke tujuan!

Kino merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mata. Ia kini memasukkan tangannya ke balik celana dalam, mencekal-meremas langsung kejantanannya. Ada sedikit cairan licin membasahi bagian ujung kejantanannya. Akibat gerakan turun naik, cairan itu terbawa telapak tangan membasahi batang kenyal-keras yang panas membara...

Gerakan tangan Kino semakin cepat dan teratur. Naik turun, naik turun, naik turun... Terkadang agak lama di bagian ujung, meremas-remas dan mengepal. Menimbulkan rasa geli yang berkepanjangan, menyebar ke seluruh tubuh, menggetarkan semua otot, bahkan sampai menyebabkan dipan berderik-derik pelan.

Ranjang Tris bergoyang keras ketika ia mulai merasakan dirinya mendaki puncak asmara. Kini dua jari yang melesak, mengurut, menelusur lembah sempit di bawah sana. Kini kedua pahanya terentang maksimum, membuat kewanitaanya terbuka lebar, memberikan keleluasaan gerak kepada tangannya.

Tangan yang satu lagi kini beralih ke bawah. Tris memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak gemilang birahinya. Satu tangan untuk melesakkan kedua jarinya cukup dalam ke liang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin tonjolan merah yang kini berdenyut-denyut itu.

Tris bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosok keras dengan kedua tangannya...

Kino menggosok-gosok dengan cepat. Mengurut dengan keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Kakinya terasa bagai melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Kino tak tahan lagi, ia menggerendeng merasakan tubuhnya seperti hendak meledak... Lalu ia benar-benar meledak. Menumpahkan cairan-cairan hangat di telapak tangannya.

Tris merasakan tubuhnya mengejang, ia mencoba terus menggosok-menggesek, tetapi rasa geli-gatal begitu intens memenuhi tubuhnya. Ia tak tahan lagi. Ia mengerang parau ketika sebuah ledakan besar memenuhi dirinya ... Kedua kakinya terentang kejang. Kedua tangannya meninggalkan daerah kewanitaannya, mencengkram seprai di kedua sisi tubuhnya. Klimaksnya datang bagai guntur bergulung-gulung...

******

Malam bagai tak peduli. Tetap dengan kelam dan dingin dan desir angin bersiut. Langit sesekali berkerejap oleh kilat di kejauhan. Awan hitam berarak menutupi cahaya bulan, mencegah Raja Malam itu menerangi muka bumi. Pohon-pohon bagai tidur sambil berdiri, terayun-ayun oleh angin yang meraja lela.

Sebentar kemudian hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa rintik kecil. Tetapi lalu dengan cepat semakin lebat. Bahkan kemudian sangat lebat seperti dicurahkan dari langit.

Kino tergeletak lunglai.

Tris terkulai lemas.

Keduanya terpisah oleh tembok, halaman, batu, sungai kecil, pohon, jalan raya, dan sebagainya .... Tetapi mereka bersatu dalam fantasi erotik, mereka bertemu dalam imajinasi asmara yang menggelegak membara.

Siapa bilang tidak ada kekuatan telepati di dunia ini?

Mba Rien - Ketika Bara Memercik

Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Kino mengantar Susi ke sanggar Mba Rien. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Susi dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Susi ia telah pual berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Susi mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.

Namun semua rencana buyar ketika ternyata Kino berjumpa Mba Rien di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Kino tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi hayal Kino seminggu ini.

"Hai, Kino ... lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?" sambut Mba Rien riang.

"Sibuk, mbak..," jawab Kino menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.

"Wah... begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Rien lagi, ya!?" sergah Mba Rien sambil tersenyum manis. Kino menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.

"Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?" ucap Mba Rien lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Kino. Tergagap, Kino menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!

"Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!" kata Mba Rien yang kini sudah memegang erat satu tangan Kino dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Kino tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Rien sambil menyeret sepedanya.

Mba Rien tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Kino yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Kino bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Rien. Bagi Kino, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan dengan jika yang menari adalah Mba Rien.

Kino melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Rien bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Rien sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!

Ketika suatu saat Mba Rien harus berganti posisi bersimpuhnya, Kino mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Rien. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Kino terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.

Rien menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Kino seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Rien menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Rien membatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Kino. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Kino memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Kino, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.

"Kamu mau minum, Kino?" tanya Mba Rien setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, "Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah."

Kino bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.

Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Rien tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Kino berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Rien tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Kino. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Kino dalam hati.

Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Rien menawarkan kue, tetapi Kino menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Rien bercerita tentang segala macam. Kino lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Rien sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Rien merasa bahwa Kino adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.

Untuk Rien, Kino adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Kino juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Kino dulu, ia juga mengalami "revolusi" yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Kino pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.

Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Kino mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Rien, dan Rien melambai di gerbang sambil mengucap, "Jangan bosan kemari, ya, Kino!"

Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Kino dalam hati.

*****

Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat bagai api membakar ilalang kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak lagi mengantar Susi, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin sering!

Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Rien dengan senang hati mengajak Kino ke pantai jika waktu senggang. Seperti kali ini, Kino pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Rien ingin berenang. Dan ternyata Rien memang sedang tidak berkegiatan, sedang sendirian membaca-baca majalah di sanggar.

"Berenang, yuk, Mba Rien..," ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan, sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan Kino "ada apa-apa". Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.

Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.

Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur. Rien mengajak Kino ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir. Kino menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Rien bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Kino kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang berjam-jam.

Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya pegal dan sedikit linu.

"Kino..," tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.

"Hah?..." Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.

"Ada apa, Mba?" tanya Kino.

"Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!" kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.

"Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?" tanya Mba Rien pelan. Kino cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya seperti itu! Apa jawabannya?

"Lho, kenapa diam?" sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu menunduk.

Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya, menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!

Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino. "Jangan malu, Kino. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?" ucapnya setengah berbisik. Kino menangguk pelan.

"Ingin menyentuhnya?" bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.

"Apa maksud, Mba Rien?" ucap Kino tersekat.

"Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?" jawab Mba Rien, genggaman tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino. Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar. Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa kecil.

"Hayo, pegang lagi...," ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Kino dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi .... semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat, menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino memegang kembali payudara seorang wanita!

"Senang?" tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.

Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino. "Kamu sekarang sudah dewasa, Kino!" ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Kino untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan Kino menuju batu karang di tengah.

Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya dalam hati.

*****

Pengalaman di pantai segera disusul pengalaman-pengalaman berikutnya. Kino kini sangat dekat dengan Mba Rien-nya, tetapi hubungan mereka menampakkan dimensi yang aneh. Jika ada orang bertemu mereka berdua, niscaya orang-orang itu akan berkata, 'Akur sekali kakak-beradik itu!'. Bahkan kedua orang tua Kino memandang seperti itu, dan karenanya tidak pernah tahu apa yang terjadi antara Rien dan anak mereka.

Sebaliknya, bagi Rien dan Kino, hubungan mereka telah memasuki babak yang sangat menentukan. Bagi Rien, kini Kino adalah seorang lelaki sempurna, lengkap dengan segala atributnya, termasuk birahinya terhadap wanita. Kino adalah sebuah kepompong yang sedang berubah menjadi kupu-kupu. Dan Rien adalah seorang peri yang membantu kupu-kupu itu terbang.

Minggu sore itu, Rien mengajak Kino mencari kenari di hutan kecil dekat danau. Mereka berangkat setelah pukul 3, saat matahari memulai perjalanan turunnya. Tadinya Niken hendak ikut, demikian pula Dodi teman Kino. Tetapi lalu Niken sakit perut karena datang bulan, dan Dodi harus mengantar ibunya ke dokter gigi. Jadilah akhirnya mereka hanya berdua ke hutan.

Rien hanya bercelana pendek, dan memakai t-shirt yang ditutupi jaket parasut. Kino bercelana khaki militer, lengkap dengan sepatu bot, dan t-shirt hijau tua. Berdua mereka menyusuri jalan setapak, masuk semakin jauh ke dalam hutan yang konon dulu menjadi salah satu tempat pertahanan bala tentara Nippon. Di hutan ini banyak pohon kenari, dan dalam waktu kurang dari setengah jam, keranjang mereka berdua sudah dipenuhi kenari. Dengan gesit, Rien berlarian menemukan kenari-kenari yang masih utuh di tanah. Kino selalu kalah gesit, terutama karena ia selalu lebih banyak memandang Mba Rien yang tampak seksi sore itu.

Lalu, tiba-tiba saja hujan turun. Pertama cuma rintik-rintik, tetapi lalu berubah sangat lebat. Mereka pun berlarian mencari tempat berteduh, dan beruntung karena tidak jauh dari situ ada sebuah gua kecil bekas persembunyian tentara Jepang. Kino menyeret Mba Rien berlari ke gua itu, dan tiba di sana sedetik sebelum hujan yang sangat deras jatuh ke bumi.

"Wah, untung ada gua ini!" tukas Mba Rien sambil gemetar menahan dingin yang tiba-tiba menyerbu. Gua kecil ini tidaklah terlalu dalam, tetapi sangat lembab, sehingga dindingnya dipenuhi lumut dan udaranya lebih dingin dari di luar. Apalagi sekarang turun hujan. Kino pun ikut gemetar kedinginan.

Mereka berdiri berdekatan, dan entah bagaimana, Rien akhirnya memeluk tubuh Kino dari belakang. Kino tak menolak, dan bahkan merentangkan tangannya ke belakang, balas memeluk kedua lengan Mba Rien. Perlahan-lahan, gemetaran tubuh mereka mereda, sejalan dengan tersebarnya kehangatan dari dua tubuh yang menempel itu. Kino perlahan-lahan mulai merasakan kekenyalan di punggungnya, tempat kedua payudara Mba Rien menempel erat. Rien merebahkan kepalanya di punggung pemuda belia yang harum sabun mandi ini. Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menghambur keluar dari dadanya, menyebabkan Rien memejamkan mata.

Setelah lebih dari sepuluh menit, hujan tampaknya makin membesar saja. Sementara langit mulai gelap menjelang sore. Rien sedang berpikir-pikir bagaimana caranya pulang, ketika ia mendengar Kino memanggil namanya.

"Kenapa, Kino?" tanyanya sambil tetap memejamkan mata dan merebahkan kepala di punggung remaja itu.

"Aku juga ingin memeluk, Mba Rien..." ucap Kino pelan. Rien tersenyum dan berkata pelan, "Seperti aku memeluk kamu?"

Kino tidak menyahut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Seperti apa ia ingin memeluk Mba Rien, ia belum tahu caranya!

Rien tersenyum lagi, lalu melepaskan pelukannya. Ia berkata lembut, "Sini..., putar tubuhmu menghadap aku.."

Kino memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba saja ia sudah memeluk Mba Rien yang tubuhnya agak lebih pendek sedikit darinya. Dagu Kino menyentuh dahi Mba Rien, dan kedua tangan Mba Rien merengkuh erat, bagai hendak meluluhkan tubuh Kino. Oh, begini rupanya rasanya dipeluk seorang wanita dewasa! pikir Kino dalam hati, dan ia merasakan sebuah kehangatan menjalar dari antara kedua kakinya.

"Begini?" tanya Mba Rien dengan sedikit nada menggoda. Kino cuma mengangguk. Rien tertawa kecil, nafasnya yang hangat menyerbu leher Kino dan menelusup ke dalam t-shirtnya. Kino pun bergidik, membuat Rien tambah tertawa. Lalu tiba-tiba Rien menggigit leher Kino. Tersentak, Kino lalu ikut tertawa kegelian.

Rien tidak berhenti menggigit, dan bahkan lalu berubah menciumi leher perjaka ini. Hmm, harum sabun wangi, desahnya dalam hati. Persis seperti wangi bayi kakaknya yang dulu ia sering bantu memandikannya. Dengan gemas, ia menciumi terus leher Kino, membuat remaja ini menggelinjang kegelian. Saat itulah Kino merasakan sebuah desakan kuat untuk membalas tindakan Mba Rien. Tanpa disadari, Kino menunduk dan menempelkan wajahnya ke wajah Rien yang sedang tengadah. Tanpa sengaja pula, kedua bibir mereka telah berpadu. Sejenak Rien tersentak kaget, tapi ia lalu memejamkan mata dan segera melumat bibir Kino. Berdesir cepat darah Kino merasakan bibir basah yang hangat mengulum bibirnya, dan desahan nafas harum menyerbu penciumannya. Astaga, inilah rupanya ciuman pertama itu!

Tentu saja Kino tak tahu cara berciuman. Ia diam saja membiarkan Mba Rien mengerjakan segalanya, termasuk memaksanya membuka mulut agar lidahnya bisa masuk ke dalam mulutnya. Dengan nafas tersengal, Kino mencoba melakukan sesuatu dengan lidahnya sendiri, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Maka ia diam saja, membiarkan Mba Rien mengulum-ulum bibirnya, menelusuri rongga mulut dengan lidahnya, dan menghisap-hisap bibir bawahnya dengan rakus.

Rien sendiri merasa kaget atas apa yang ia kerjakan. Rupanya, birahi yang selama ini tak pernah ia tampilkan, kini menyeruak keluar dengan kekuatan sendiri tanpa dapat dicegah. Telah lama sekali Rien tidak berciuman, sejak ia memutus hubungan dengan Rian yang sekarang entah di mana. Telah lama tubuhnya tidak merasa gejolak seperti ini, dan kalaupun ia membiarkan Kino memegang payudaranya di pantai, itu hanyalah untuk menghapus penasaran remaja yang menarik simpatinya. Kejadian di pantai dulu, bagi Rien, bukanlah birahi. Tetapi kini, di gua yang gelap dan dingin ini, Rien kaget ketika sadar bahwa ia begitu bersemangat menciumi Kino!

Untunglah kesadaran itu cepat datang. Buru-buru ia menghentikan ciumannya, dan dengan satu tangan ia menghapus bekas-bekas ludah di bibir Kino. Sambil tersenyum, ia minta maaf dengan suara lembut, " ... Mba Rien keterlaluan, nih!"

Kino mengernyitkan dahi tak mengerti. "Kenapa berhenti, Mba?" tanyanya penuh heran.

"Tidak. Kamu tidak boleh saya ciumi seperti itu. Kamu bukan pacar saya...," kata Mba Rien, masih dengan suara lembut, meneduhkan hati Kino yang sudah bergejolak.

"Tapi saya suka, Mba Rien..." Kino bersikeras. Rien tersenyum melihat tuntutan remaja ini.

"Suka apa?" tanyanya menggoda.

"Suka dicium seperti itu," jawab Kino cepat. Ia kini semakin berani berdebat.

Sejenak Rien bimbang. Simpatinya kembali datang. Kasihan ia melihat remaja ini terputus di tengah jalan yang sedang dinikmatinya. Tetapi ia tahu, kalau ciuman itu diteruskan, dirinya sendiri akan ikut hanyut. Satu-satunya jalan untuk menghindari kekecewaan Kino adalah dengan menciumnya lagi, tetapi tidak dengan birahi.

Maka Rien berkata, "Baiklah ..." lalu ia menarik leher Kino, mendekatkan bibirnya ke bibir Kino dan menciumi remaja ini dengan lembut. Kino memejamkan mata, menikmati ciuman Mba Rien yang terasa sekali dipenuhi kasih sayang. Tubuhnya bagai disiram kehangatan kasih yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Tubuhnya bagai melayang tak menginjak bumi. Tubuhnya bagai awan di langit yang biru sejuk.

Rien menahan senyum melihat tingkah Kino yang memejamkan mata dan memeluk tubuhnya seperti tak hendak dilepaskan. Tetapi ada satu hal yang tidak diperhitungkannya! Perlahan tapi pasti, ia merasakan sesuatu membesar menempel sedikit di atas perutnya. Karena Kino lebih tinggi, maka bagian depan kelaki-lakiannya menempel di perut Rien, dan Rien segera menyadari apa yang terjadi.

Dengan tangan kirinya, Rien meraba bagian itu. Ah, tegang sekali kelaki-lakian Kino, dan panas pula rasanya, seperti dialiri air mendidih. Sejenak Rien bimbang lagi, sementara bibirnya masih sibuk mengulum-ngulum bibir Kino. Apa yang harus ku lakukan? Rien berpikir keras, tetapi tangannya sudah pula mulai meremas. Seakan-akan tangan itu punya pikiran sendiri di luar kepalanya!

Akhirnya kepala Rien mengalah kepada tangannya. Ia melanjutkan remasan, dan mulai menyukai pilihannya. Nafas Kino terdengar terengah-engah, dan Rien semakin merasa tak enak jika harus berhenti sekarang. Ia sudah membangkitkan api di tubuh remaja ini, ia pula yang harus memadamkannya. Dengan pikiran begitu, Rien membuka resleting celana Kino yang masih terpejam seakan-akan tak sadar. Pelan-pelan tangan Rien merayap ke dalam celana dalam Kino dan menemukan kelaki-lakiannya sudah tegang dan agak basah di ujungnya. Ah, halus dan kenyal sekali kelaki-lakiannya, desah Rien dalam hati, diam-diam menikmati apa yang dikerjakannya.

Kino merasakan tangan Mba Rien merayapi kelaki-lakiannya, membuat dirinya semakin terlena. Ia merasakan desakan aneh yang nikmat, sama dengan desakan-desakan yang selama ini ia rasakan kalau berhayal sendirian di kamarnya. Kini desakan itu semakin kuat, dan apa yang dikerjakan Mba Rien di bawah sana sangat berbeda dengan apa yang biasa ia kerjakan. Kali ini jauh lebih nikmat, jauh lebih menggairahkan.

Tangan Rien meremas lebih kuat, lalu menggosok ke atas ke bawah. Ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Rian, pacarnya dulu, pernah mengajarkan bagaimana cara terbaik untuk memuaskan laki-laki dengan tangan. Maka dilakukannya apa yang telah lama tidak dilakukannya. Rien kini ikut memejamkan mata, berkonsentrasi pada bagian bawah tubuh Kino tanpa melepaskan ciumannya. Ia merasakan betapa kelaki-lakian itu kini menegang dengan cepat, dan mulai berdenyut-denyut. Rien tahu, sebentar lagi Kino akan mencapai orgasme pertama di tangannya. Sejenak ia menurunkan telapak tangannya sampai ke pangkal kelaki-lakian Kino, lalu dengan gaya mengurut ia membawa naik telapak tangannya, dan sesampai di atas ia meremas-remas dengan kuat.

Kino tak tahan lagi. Tangan Mba Rien yang halus dirasakannya bagai sedang menarik lepas sebuah sumbat di bawah sana. Dan dengan lepasnya sumbat itu, sebuah air bah yang dahsyat menyerbu keluar. Kino mengerang pelan, melepaskan bibirnya dari bibir Mba Rien, mendongak seakan berusaha menghisap lebih banyak udara, lalu menjerit tertahan.

Rien merasakan betapa kelaki-lakian Kino tiba-tiba membesar dengan cepat, lalu bergetar dan berdenyut-denyut kuat. Telapak tangan Rien meremas untuk terakhir kalinya, lalu mulai menerima semprotan-semprotan cairan kental panas. Ia mengepalkan tangannya, menampung semua itu agar tidak bermuncratan ke mana-mana. Tidak kurang dari tujuh kali rasanya semprotan cairan itu memenuhi kepalannya. Lalu, Kino terkulai lemas, dan memeluk tubuh Mba Rien. Pelan-pelan Rien mengeluarkan tangannya, dan diam-diam mengambil sapu tangan untuk membersihkan tangan itu.

"Enak?" tanya Mba Rien lembut, seperti seorang ibu menanyakan bagaimana rasanya makan malam yang dihidangkannya. Kino tertawa tertahan, malu bercampur senang. Hujan masih turun, walau tak lagi lebat. Kino tak peduli. Walau harus bertarung melawan macan di hutan ini pun, ia tak peduli. Selama Mba Rien ada di sisinya, ia tak peduli!